Suasana di balairung istana Amarta tegang. Yudhistira yang biasanya sabar, wajahnya berwarna kesumba, tanda menahan amarah. Werkudara alias Bima yang biasanya mudah tersulut emosi kali ini bingung melihat sikap kakaknya itu. Tentu saja bingung, wong Bima ndak tahu ada masalah apa sehingga ia dipanggil supaya berkumpul di balairung.
Di tangan kanan Yudhistira tergenggam secarik kertas. Bima belum berani membuka pembicaraan, sebab Yudhistira bilang akan memulai rapat setelah anggota Pandawa lengkap. Mereka menunggu kedatangan Arjuna.
“Akhirnya kamu datang juga, Jun. Istrimu masih ngambek?” tanya Bima ketika melihat Arjuna memasuki balairung.
“Marah perkara apa lagi?” Yudhistira ikut nimbrung bertanya.
Belum sempat Arjuna menjawab pertanyaan-pertanyaan kakaknya, Yudhistira berbicara lagi.
“Ada yang jauh lebih penting daripada permasalahan rumah tangga Arjuna. Kalian aku kumpulkan di sini, gara-gara surat yang ada di tanganku ini!”
“Surat apa, Mas?” tanya Nakula dan Sadewa hampir bersamaan.
“Ini surat tantangan dari Prabu Pandupergola, Amarta diserahkan baik-baik kepadanya atau dilakukan invasi! Apa di antara kalian ada yang mengenal Pandupergola?” Yudhistira menatap ke arah adik-adiknya.
Semua menggelengkan kepala, tanda tidak mengetahui siapa itu Pandupergola.
“Di suratnya ia mengatakan kalau ia adalah raja dari Kerajaan Trancanggribig. Entahlah, di mana Trancanggribig berada!” kata Yudhistira menahan amarah.
Yudhistira pantas marah dan tersinggung. Kerajaan Amarta yang ia bangun dengan keringat dan air mata darah kini dilecehkan oleh sebuah negeri yang antah-berantah keberadaannya. Diam-diam Arjuna membuka ponsel pintarnya. Ia ketikkan kata trancanggribig pada mesin pencari milik Kyai Gugel. Sekian detik kemudian Kyai Gugel memberi respon kalau tak mengenal kata tersebut.
Arjuna mengulang dengan mengetikkan kata pandupergola. Hasilnya sama saja, nihil.
“Jangan-jangan itu nama fiktif, Mas. Kyai Gugel saja tak mengenalnya. Jadi ndak usah dipikirin surat ancaman tersebut. Tapi siapa pun orang itu, kalau berani menyerang Amarta bakal tak remukkan kepalanya!” ujar Bima dengan kemarahan sangat. Ia kini paham dengan sikap kakaknya.
“Bagaimana pun kita mesti waspada dengan ancaman dalam surat ini. Tak boleh kita abaikan. Wahai adik-adikku, mulai sekarang persiapkan diri kalian jika sewaktu-waktu datang serangan dari Trancanggribig kita tidak kaget lagi,” titah Yudhistira kepada para Pandawa.
“Kalian akan kalah melawan Pandupergola….”
Pandawa terperanjat mendengar suara Kresna yang tiba-tiba hadir di balairung tanpa mereka sadari. Dengan senyum khas yang dimilikinya, Kresna melanjutkan kalimatnya.
“Hanya Petruk saja yang dapat mengalahkan Pandupergola. Semua kita serahkan kepada Petruk, yang kini bertahta di Loji Tenggara!” ujar Kresna.
Semua orang yang hadir di balairung istana belum kuasa menelan kata-kata Kresna tadi. Lakon macam apa yang dimainkan Ki Dalang kali ini?
bersambung ke Bagian 7