Makanya jangan kuatir, semua ada bagiannya. Jangan putus asa. Jangan mengeluh.
Keluarlah dan cari rejekimu. Rejekimu nggak akan ke mana-mana,
nungguin kamu menjemputnya.
~Artha Lintang~
Lelaki tuna netra itu duduk di depan pintu masuk sebuah Toserba yang sangat terkenal di bilangan Ngapeman Solo, bermodalkan optimisme (keyakinan akan bertemu rejekinya) dan rantang plastik yang diacung-acungkan di hadapan orang yang keluar-masuk toko. Beberapa uang koin yang sengaja ditaruh di dalam rantang plastik, akan beradu dan mengeluarkan suara riuh ketika ia mengoyang-goyangkan rantang plastik itu.
Secara pribadi saya tidak mengenal lelaki itu. Tetapi sejak beberapa tahun lalu, ketika saya berada di sekitar Toserba selalu menyaksikan lelaki tua itu, duduk manis persis di muka pintu masuk Toserba di atas kotak besi berwarna oranye. Kemarin pas mudik lebaran, saya menyempatkan mengamatinya dari dekat. Bahkan dalam jarak dua atau tiga langkah darinya.
Dalam menjalankan pekerjaannya, ia hanya menggoyang-goyangkan rantang plastik. Lalu, bunyi uang koin yang beradu di dalam rantang terdengar suara yang bisa mengetuk nurani orang yang lewat untuk menjatuhkan recehnya ke dalam rantang. Ada yang memasukkan koin 100-an, 200-an, 500-an bahkan uang kertas seribu atawa dua ribuan. Suara rantang akan terhenti ketika ia mengobrol dengan orang-orang di sekitarnya yaitu tukang becak, penjual lunpia, tukang parkir, penjual tengkleng, pedagang mainan anak dan penjual cabuk rambak. Dari pembicaraan mereka, saya menjadi tahu nama lelaki itu: mBah Man.
mBah Man kalau tertawa menggelegar, lepas begitu saja. Tentu saja, komunikasi mereka menggunakan bahasa Jawa gaya Solo. Dengan kamera Nyai 6233, saya abadikan beberapa gerakan mBah Man yang cukup menarik perhatian saya.
Perhatikan gambar di atas. Kotak berwarna oranye itu ternyata brankasnya mBah Man. Di sana ia menyimpan uangnya, termasuk plastik bening ukuran setengah kiloan. Lalu, di depan brankas ada beberapa gelas plastik bekas minuman bersoda yang sengaja ia tumpuk sedemikian rupa sehingga memudahkan baginya dalam memilah nilai uang: gelas paling bawah untuk menyimpan koin 100-an, di atasnya untuk koin 200-an, dan paling atas untuk koin 500-an. Sedangkan uang kertas, ia lipat dan dimasukkan dalam saku baju kotak-kotaknya itu.
Dalam waktu sepuluh menit – kalau saya tidak salah hitung sudah ada belasan orang yang memasukkan uang receh ke rantang plastiknya. Mungkin, ketika rantang plastik berasa berat ia mulai memilah-milah uang koin dan memasukkan ke dalam gelas plastik dan ia seperti sengaja meninggalkan dua atau tiga koin di dalam rantang plastik dan mulai menggoyang-goyangkannya lagi. Bunyi koin beradu kembali mengirimkan sinyal iba untuk orang-orang di sekitarnya.
Perhatikan gambar bawah-tengah. Ia melakukan pengecekan pada gelas-gelas plastiknya. Sudah penuh. Ia pun segera membuka brankas dan mengambil selembar plastik bening ukuran setengah kiloan. Rantang plastik ia taruh di depan kakinya. Ia mulai menghitung receh-receh itu dan dimasukkan ke dalam plastik, setelah mencapai jumlah sepuluh ribu rupiah ia ikat plastik itu, lalu disimpan di brankas warna oranye.
Datang seseorang menghampiri mBah Man untuk menukarkan uang dua puluh ribu dengan recehan. mBah Man membuka brankasnya, dan memberikan dua kantong receh yang sudah terbungkus rapi di plastik bening ukuran setengah kiloan. Ia melipat uang lembaran yang ditukar tadi dan menyatukan dengan segepok uang kertas yang sebagian besar berwarna biru.
Demikianlah, cara mBah Man menjemput rejekinya.