Marga satwa dan segenap flora-fauna yang mukim di gunung Jamurdwipa pada kegerahan. Angin gunung berasa panas padahal menurut insting mereka kawahnya sedang tidak bergolak. Ada sesuatu yang nganeh-nganehi adat kebiasaan di lingkungan habitat mereka.
Arjuna baru saja mentas dari telaga Mantingan yang kini airnya mendidih. Maksud Arjuna berendam di air telaga untuk mendinginkan hatinya. Tapi apa daya, dinginnya air telaga tak mampu menurunkan panas hatinya.
Itulah kenapa marga satwa dan segenap flora-fauna merasakan kegerahan yang luar biasa.
Arjuna berjalan mendaki untuk mencapai puncak Jamurdwipa. Di sana aku akan bersemedi diselimuti kabut untuk mendinginkan hati. Tak ada keringat yang mengucur dari tubuhnya. Sepanjang perjalanan ia bereka-wicara.
Sejak sebulan lalu aku tak merasakan lagi kehangatan cintanya. Fikiran Arjuna menekuni titi mangsa yang telah berlalu. Ya, bahkan ia tak sudi menatapku, alih-alih memberikan senyum termanisnya. Sinyal mengajak berpisah?
Seekor monyet lari tunggang-langgang ketika berpapasan dengan anak ketiga Pandu dan Kunti itu. Arjuna melirik sepintas dan tersenyum ketika melihat monyet tersebut tersandung dahan pohon.
Arjuna mencoba mengukur kedalaman cintanya kepada kekasih hatinya. Jangan-jangan ia akan berkata: maafkan diriku memilih setia, walaupun aku tahu cintamu lebih besar darinya.
Tanah yang ia injak retak. Cemburu yang membakar hatinya semakin meluluhlantakkan logika seorang ksatria seperti dirinya. Arjuna menghentakkan kaki. Kesal. Bumi bergoncang.
Marga satwa berlarian ke arah kaki gunung. Goncangan yang hebat tadi telah mengusik ketenangan demit penguasa Jamurdwipa. Ia marah dan segera mencari sumber petaka.
Demit mengaum. Arjuna mencari sumber suara. Dalam sekedip mata, demit yang berperawakan tinggi besar telah berada di hadapan Arjuna. Mereka perang tanding.
Arjuna menumpahkan sumpek hatinya dengan cara menghajar demit tiada ampun. Demit takluk di bawah duli Arjuna.
Ia segera melanjutkan langkah kaki menuju puncak Jamurdwipa. Hanya dengan semedi akan lerem perasaanku. Sudah tak terhitung berapa kali ia menghela nafas panjang.
Setelah sampai di puncak, segera saja ia mencari tempat yang nyaman untuk bersemedi. Duh, Gusti aku tak tahan lagi menahan gejolak cemburu ini. Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan memori tentangnya.
Tak terasa tiga hari berlalu. Arjuna masih asyik dengan semedinya. Tanpa ia sadari Bathara Narada turun ke bumi dan meminta Arjuna untuk mengakhiri semedinya.
“Memangnya kamu cemburu pada siapa, Jun?”
“Banowati, Pikulun.”
Bathara Narada tertawa terkial-kial mendengar jawaban Arjuna. Perut Narada yang super buncit bergoyang mengikuti irama tawanya.
Arjuna pilon, bingung. Apa yang lucu? Cemburu belum hilang sempurna, kini kepala Arjuna makin ngelu.