Bukan Suara Tuhan

Kali ini Ustadz Asnoor  mengajak Kyaine dan mas Budiono bersilaturahmi ke gurunya, di Pondok Pesantren Darussalam di wilayah Pantura. Selain menghadiri pengajian selapanan tiap malam Jumat Wage sekalian tasyakuran menyambut kedatangan putra sang guru yang baru saja pulang dari menuntut ilmu di Kairo Mesir.

Mungkin karena kecapekan, mata Kyaine sering terpejam ketika Kyai Idris memberikan ceramahnya. Acara ditutup dengan makan kenduri, sungguh nikmat. Kyaine hanya sebagai pendengar yang baik, ketika putra Kyai Idris menceritakan pengalamannya di negeri piramida itu dan ia membayangkan alur cerita di novel Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih.

Kyaine terlelap di serambi masjid Darussalam. Lewat tengah malam, Ustadz Asnoor membangunkannya, untuk mengajak tahajud. Sungguh indah masjid ini dalam cahaya temaram di sepertiga malam. Mereka mengambil tempat di dekat mihrab imam, yang ada beberapa tiang penyangga masjid yang kokoh sepertinya sudah berumur tua dan ini mengingatkannya pada ruang Raudhah Masjid Nabawi. Di samping kiri mimbar mihrab Kyaine melihat mas Budiono tengah khusuk berdzikir dengan biji-biji tasbihnya.

Selesai tahajud, Ustadz menarik tangan Kyaine untuk mengikutinya. Ia manut saja. Ternyata ia dibawa ke ruang sebelah mihrab imam melalui pintu luar masjid. Tentu saja Ustadz Asnoor hapal seluk beluk masjid ini, wong ia pernah nyantri di sini. Baru Kyaine sadar, Ustadz bermaksud iseng kepada mas Budiono.

Dari balik pintu yang terbuka sedikit, Ustadz mengintip mas Budiono yang tengah tafakur. Kemudian dengan suara yang distel dengan nada bariton dan sedikit bergetar, Ustadz berkata, “Opo penjalukmu bakal ingsun sembadani, ngger” (apa yang jadi permintaanmu akan aku kabulkan, cucuku).

Mendengar suara itu, Kyaine melihat mas Budiono langsung bersujud, berteriak dan menangis. “Duh gusti Allah, kawula nyuwun ilmu ingkang mangfaat, nyuwun akal lan pikiran ingkang padhang, ugi nyuwun rizqi ingkang kathah lan derajad ingkang inggil” (Ya Tuhan, aku mohon diberikan ilmu yang bermanfaat, akal dan pikiran yang jernih, juga rejeki yang banyak dan derajat yang tinggi).

Kembali, dengan suara baritonnya Ustadz menyahut singkat, “Yo..yo… tak sembadani!” (Ya, aku kabulkan).

Mungkin saking percayanya, mas Budiono berkali-kali mengucapkan kalimat : “matur nuwun gusti!” Asli, perut Kyaine kaku menahan supaya tidak tertawa saat itu. Ia lihat mas Budiono bangkit dari sujudnya, dan sepertinya akan melakukan shalat sunnah. Mereka segera keluar dari ruangan itu, tetapi tidak berani tertawa keras-keras karena para santri mulai keluar kamar untuk menuju ke masjid.

Di perjalanan pulang. Ustadz Asnoor yang bawa mobil, sementara Kyaine di sebelahnya dan mas Budiono di kursi belakang. Bisa jadi karena tidak dapat menyembunyikan pengalaman semalam, mas Budiono membuka percakapan.

“Tadz, setahu saya hanya Nabi Musa yang pernah bercakap-cakap langsung dengan Allah di bukit Sinai.”

“Iya betul. Lalu?” jawab Ustadz, meskipun dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan mas Budiono ini.

“Egh… gimana ya… ngomongnya. Semalam, di masjid saya mendengar suara Gusti Allah…. mungkin Ustadz dan mas Kyaine  nggak bakalan percaya cerita ini…” mas Budiono seperti ragu-ragu untuk melanjutkan ceritanya.

Ustadz langsung saja menyambar dengan suara baritonnya : “Opo penjalukmu, ngger…”

Mendengar suara yang mirip dengan suara semalam tersebut, mas Budiono baru sadar kalau dikerjai oleh Ustadz Asnoor. Mereka tertawa ngakak, sampai Ustadz terpaksa meminggirkan dulu mobilnya.

Setelah tertawa mereka reda, mas Budiono bilang mumpung lagi di pondok pesantren dia berdzikir sebanyak-banyaknya. Mendengar itu semua, sepanjang perjalanan pulang Ustadz memberikan wejangan kepadanya bagaimana cara, kapan dan adab berdoa dan berdzikir.