HM

“Pelangiku,” bisik Bumi, “tataplah aku”.
Tangan Bumi menyentuh lembut bahunya. Temaram cahaya di kamar itu cukup bagi mereka berdua untuk saling bertatapan dan entah siapa yang memulai, mereka membiarkan diri hanyut dalam pelukan. Pelangi merapatkan tubuhnya erat-erat seakan takut kehilangan sesuatu yang telah dia temukan. Bumi pun menyambutnya, melindunginya.

Kembali, mereka saling menatap, embusan angin yang dahsyat seakan memenuhi ruangan, menyapu semua ketakutan, keraguan dan kegelisahan. Penuh kerinduan, tangan mereka saling bersentuhan, mereka berciuman. Inikah angin atau apikah yang menelan mereka?

Gelombang demi gelombang datang berdeburan membuat mereka semakin mendekat, semakin meneguhkan gelora di dada mereka. Hanya hembusan nafas mereka yang terdengar. Denyut sang Bumi oleh tarian sang Pelangi, sontak membuat laut berombak dahsyat dan menyatukan mereka.

Dengan berbisik, Bumi berkata, “Inilah sebuah anugerah, sebuah anugerah, kekasihku! Tubuh telah mengenal sang jiwa, jiwa telah mengenal sang tubuh”. Seorang lelaki dan perempuan, seutuhnya. Sebuah kebahagiaan. Keutuhan itu mengalir di sekujur tubuh mereka. “Untuk selama-lamanya,” balas Pelangi.

Mereka berbaring saling berpelukan. Kepala Pelangi rebah di dada Bumi.

Gelombang rasa syukur melimpahi Pelangi. Kepalanya segera terangkat dan dia meraih punggung tangan Bumi. Dia menempelkan tangan itu di pipinya.

Note: Ide dasar dari buku Kimnya sang Putri Rumi karya Muriel Maufroy