Bukan ber-moratorium

Inilah jeda terlama tidak menulis di Padeblogan yang pernah saya alami. Seminggu tanpa tulisan baru. Bukan perkara ide mampat, apalagi ada ilmu ATM dari Pak Ustadz Kweni.  Bukan perkara sedang menjalankan moratorium tulis-menulis. Bukan pula sedang sibuk mencari posisi duduk di ruang tunggu bandara Solo. Bukan juga sedang cuci mata di Blog Ruko untuk mencari sampo yang cocok untuk rambut cepak saya yang mulai dipenuhi kembang jambu.

Bukan juga sedang menginap di rumah Sang Proklamator. Bukan karena sedang kebingungan dengan beleid baru bikin heboh yang dikeluarkan oleh Kyai Matt Mullenweg. Juga bukan karena sibuk mengamati orang-orang di sekitar saya yang sangat ruajin ber-BBM-an sampai lupa waktu (saya cuma berkomentar: silakan puas-puasin ber-BBM, sebelum BBM naik per 1 April nanti!).

~oOo~

Sabtu, 10 Maret 2012 dapat kabar kalau mBahkung-nya anak-anak meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Rapat kilat segera digelar. Kika dan ibunya hari itu juga berangkat duluan ke Solo, sementara saya dan Lila berangkat esok harinya. Kok nggak bareng-bareng?

Minggu, 11 Maret 2012 Lila mesti mengikuti tes MIR  (Multiple Intelligences Research), masih satu rangkaian proses penerimaan murid baru di boarding school di mana Lila telah diterima sebagai muridnya. Rangkaian ceritanya ada di Ketika Lila tertarik masuk Borading School, Semangat man jadda wajada, dan Lagi, man jadda wajada. Nanti, di suasana tes MIR akan saya ceritakan belakangan, masih satu rangkaian kisah bersemangat man jadda wajada.

Boarding school tersebut terletak di wilayah Jalancagak Subang (utara-timur Ciater), yang memang wilayah sejuk. Saya yang biasanya mengambil arah dari kota Subang, perjalanan hari Minggu kemarin mencoba lewat Bandung – Lembang sekalian orientasi jalan ke mana arah belokan menuju Jawa Tengah. Dibandingkan lewat Subang, lewat tol Purbaleunyi sangat bisa ngebut dengan kecepatan mak wuss!!! Beberapa ruas jalan Lembang – Jalancagak kondisinya jelek, meskipun jika dibandingkan kondisi jalan ruas Sadang (Purwakarta) – Kota Subang, Lembang – Jalancagak masih jauh lebih baik.

Hmm, rupanya nomor urut tes MIR milik Lila baru dipanggil selepas istirahat lohor. Sekira jam 2-an, baru keluar dari boarding school.

Perjalanan Subang – Solo.

Berdasarkan orientasi singkat pagi harinya, saya mengambil arah kiri dari pertigaan Kota Jalancagak. Jalan itu menuju arah kota Sumedang via Cimalaka. Meskipun jalanan sempit, namun lancar. Lumayan sepi lalu-lintasnya. Tentu saja Lila belum bisa menjadi co-driver, sehingga di jalan saya sering tanpa sadar injak gas dalam-dalam. Lagi-lagi, beberapa ruas jalan rusak parah.

Perut kami mulai keroncongan. Sekitar jam 4 sore sampai di Cimalaka mampir di sebuah rumah makan. Sepanjang sejarah permudikan ke kampung halaman, baru sekali ini saya melewati jalur ini. Sambil istirahat, saya buka peta. Kami akan menuju Tol Palikanci Cirebon untuk mencapai jalur Pantura. Lagi-lagi, beberapa ruas jalan rusak parah.

Menjelang magrib saya masuk tol Palikanci, meskipun sebelumnya sempat nyasar ke arah kota Cirebon, hawong penunjuk arah tol nggak ada, adanya arah Jakarta dan arah Cirebon. Rupanya untuk menuju gerbang tol Palimanan kudu menuju ke arah Jakarta dulu, baru ambil arah putar. Tol yang sepi, sontak membuat saya berubah menjadi seorang hell-driver. Wuss…. tahu-tahu sampai di ujung tol Pejagan.

Kami istirahat shalat di salah satu SPBU di wilayah Brebes. Oh iya, ketika mampir pipis di beberapa SPBU sering saya temui mereka kehabisan premium. Jangan-jangan premium mulai ditimbun ya, karena harganya mau naik. Sementara, Kyai SX4 minumnya pertamax (beberapa SPBU malah nggak menjual pertamax).

“Pap, ntar makan malamnya cari yang anget-anget ya?” rajuk Lila. Sepanjang perjalanan mata saya mendelik untuk mencari warung bakso atawa soto. Ah, karena tidak pernah mampir makan bakso atawa soto di jalur Brebes – Tegal, tanpa sadar kami masuk wilayah Pemalang. Akhirnya mampir di sebuah rumah makan yang katanya rasanya mantap. Kami menikmati makan malam kira-kira jam setengah sembilan. Lila pesan bakso rasa mantap, sementara saya pesan sop tulang lunak. Rasanya memang mantap!

Setelah cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Lila sudah menidurkan posisi kursinya. Jaket telah dikenakan, tak lupa ngeloni Billy – boneka macan kesayangannya, ia siap bermimpi sampai kota Solo. Truk yang di jalur Pantura suka mengambil lajur kanan, saya lihat sering mengambil lajur kiri. Lagi-lagi, beberapa ruas jalan rusak parah. Terutama lajur kanan, berlubang sepanjang jalan.

Jalur Pantura adalah ruas jalan yang tak pernah tidur. Beberapa kali saya disalip oleh bus malam atawa dengan perhitungan cermat saya yang harus mendahului beberapa truk yang berjalan beriringan. Tak terasa, kami memasuki tlatah Kendal. Pas melewati depan terminal Bahurekso Kendal saya selalu teringat harus umak-umik dulu untuk minta izin lewat pada yang mbaurekso kota Kendal.

Ada perasaan takut juga ketika saya sendirian lewat jalan tol Semarang – Ungaran. Maka jalan tol sepanjang 11 km ini saya tempuh dalam beberapa menit saja, karena ingin buru-buru sampai di kota Ungaran. Hal yang sama ketika melewati jalan alternatif Salatiga, yang sangat sepi, saya mencoba mencari teman. Saya senang bukan main ketika dapat mengejar satu mobil. Eh, mobil tersebut semakin kencang larinya. Kyai SX4 pun tancap gas mengejar lagi, supaya jaraknya nggak jauh-jauh amat. Karena cc-nya kalah besar, saya tertinggal.

Karena capek dan kebelet pipis, saya mampir di SPBU sekitar Tengaran Salatiga. Eh, kok saya lihat mobil yang saya kejar tadi sedang istirahat di SPBU itu juga. Pemilik mobil saya dekati saya dan menyapa, “Waduh mas, tadi saya kejar maksudnya cari teman perjalanan, eh malah sampeyan ngebut!” Dia menjawab juga ketakutan berjalan sendirian, makanya begitu ada mobil yang mengejar dikira mau diapa-apain.

Jam setengah dua dini hari saya keluar dari kota Boyolali. Sampai tujuan kira-kira masih 15 km-an lagi. Tapi mata saya sudah ngantuk berat dan orang-orang di rumah pasti sudah pada tepar semua setelah siang harinya mengurusi pemakaman mBahkung. Saya memutuskan berhenti dan tidur di SPBU sampai waktu subuh nanti.

Ketika terang tanah, saya melanjutkan perjalanan dengan santai. Hari Senin pagi, jam 6 kurang, saya dan Lila sudah sampai di rumah.

~0Oo~

Hari Selasa pagi, ketika rasa pegal masih terasa dan mata belum terobati kantuknya, saya mesti kembali ke Karawang. Perjalanan kali ini bersama Kika dan Lila.

Ada apa di perjalanan ini?