Buah Laku Jujur

Sudah lama Baginda Jagadira tidak mengadakan penyamaran untuk melihat keadaan rakyatnya. Dia ingin sekali melihat langsung keadaan hidup rakyatnya, karena selama ini menterinya selalu melaporkan bahwa keadaan rakyat dalam keadaan aman, sehat, makmur tak kurang satu apa. Untuk membuktikan kata menterinya Baginda akan melihat langsung.

Memang selama ini kerajaan Sekar Mayang aman-aman saja. Rakyatnya tetap makmur, tak ada gejolak. Baginda Jagadira memerintah dengan arif bijaksana, maka tak heran apabila rakyat amat menghormatinya. Apalagi sekarang banginda telah mempunyai seorang anak laki-laki, yaitu adik Puteri Andini, putri Baginda yang pertama. Berarti dia telah mempunyai putera mahkota sebagai penggantinya apabila dia wafat.

Malam itu Baginda ingin melaksanakan niatnya dan untuk itu dia telah berpakaian sebagaimana rakyat biasa. Sebagai teman di perjalanan Baginda mengajak bawahannya yang bernama Kimanutan. Sepanjang perjalanan Baginda bercerita banyak dengan Kimanutan. Banyak sekali hal yang ingin diketahui Baginda dari Kimanutan mengenai rakyatnya. Misalnya tentang penghidupan rakyatnya, apakah telah layak. Juga tentang makan, apakah rakyatnya ada yang menderita kelaparan atau tidak.

Baginda dan Kimanutan melewati lorong kecil yang agak gelap sayup-sayup di kejahuan terdengar sebuah pembicaraan dari sebuah rumah kecil yang letaknya di ujung lorong. Pembicaraan itu rupanya menarik perhatian Baginda. Mereka mempercepat jalan agar segera sampai di depan rumah tersebut.

Rumah kecil tersebut dihuni oleh dua orang anak beranak yakni Ruhayati dan ibunya. Ayah Ruhayati telah lama meninggal, sehingga mereka berdua harus dapat mempertahankan hidupnya. Dahulu pekerjaan ayah Ruhayati adalah seorang penjual susu. Hasilnya lumayan, dapat untuk menghidupi anak istrinya.

Langganan ayah Ruhayati cukup banyak, dari pegawai kerajaan sampai para pedagang. Sehingga tak heran apabila mereka hidup berkecukupan. Ayah Ruhayati meninggal karena sakit dan banyak biaya yang telah dikeluarkan sehingga tabungan yang selama ini disimpan digunakan untuk biaya pengobatan.

Keadaan keluarga Ruhayati kini agak miskin dibanding ketika ayahnya masih hidup. Untuk menopang kehidupannya mereka melanjutkan usaha sebelumnya yaitu sebagai penjual susu.

Dengan mengendap-endap Baginda dan Kimanutan mendekati rumah Ruhayati. Karena malam itu sunyi dan sepi, maka pembicaraan antara Ruhayati dan ibunya terdengar cukup jelas.

“Ruhayati anakku, akhir-akhir ini hidup kita kekurangan. Kadang sehari makan dua kali, karena langganan kita tak sebanyak ketika ayahmu masih hidup. Yah, aku tak mengerti mengapa bisa begini”

“Ah, mungkin kita tengah diuji oleh Yang Maha Kuasa, ibu. Bukankah tidak selamanya manusia bahagia, kadang susah kadang senang dan kita baru mendapat kesusahan itu”.

“Begini saja Ruhayati, agar susu kita menjadi lebih banyak sehingga nanti banyak terjual, maka campurlah susu ini dengan air. Toh mereka tidak tahu kalau susu yang kita jual kita campur dengan air. Ah, betapa banyaknya uang yang kita peroleh. Cepat ambil air dan tuangkan dalam susu ini!” begitu perintah ibu Ruhayati dengan wajah berseri.

Ruhayati tersentak kaget, dan dia tidak mengira mengapa ibunya akan berbuat seperti itu. Sejak kecil Ruhayati telah dididik berbuat kejujuran oleh ayahnya, bahkan ibunya pun sering menasihatinya agar selalu berbuat jujur. Ruhayati tak habis pikir, mengapa ibunya tiba-tiba lupa dengan apa yang selama ini diajarkan kepadanya yaitu kejujuran. Tentunya dengan tegas Ruhayati menolak perintah ibunya.

“Tidak ibu. Aku tak mau berbuat curang. Memang tak ada orang yang melihat perbuatan kita, bu. Tetapi Yang Maha Kuasa melihat kita. Ingatlah ibuku, bukankah ibu selalu mengajarkan kepadaku untuk berbuat kejujuran?”

Ibu Ruhayati kaget mendengar penuturan anaknya, rupanya dia tersadar dari apa yang akan diperbuatnya. Berkali-kali dia mohon ampun kepada Yang Maha Kuasa.

“Maafkan ibumu Ruhayati, aku telah khilaf hanya karena hidup kita miskin. Biarlah kita miskin asal kita bisa merasakan bahagia. Marilah kita tidur Ruhayati. Besok kita berjualan susu bersama-sama”. Begitulah akhirnya ibunya sadar.

Maka dengan beranjaknya mereka ke tempat tidur, Baginda dan Kimanutan meninggalkan rumah itu. Baginda telah mendengar semua pembicaraan Ruhayati dan ibunya. Sebelum meninggalkan rumah kecil itu, Kimanutan diperintah Baginda untuk menandai rumah tersebut.

Keesokan harinya, Baginda memanggil Kimanutan untuk menghadap. Pertemuan diadakan di balairung kerajaan.

“Begini Kimanutan, apakah kamu masih ingat rumah yang tadi malam kita kunjungi. Aku ingin sekali memberi hadiah bagi gadis yang jujur tersebut. Kamu tahu, bahwa aku sangat menghargai suatu kejujuran. Untuk itu panggilah mereka berdua untuk menghadapku, aku akan memberikan hadiah bagi mereka”.

“Titah Baginda akan saya laksanakan. Tapi kalau boleh saya usul, berilah mereka berdua uang yang banyak agar berkecukupan. Saya tahu kalau Baginda sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran”, begitu usul Kimanutan.

“Uang yang banyak bukan ganjaran yang setimpal dengan suatu kejujuran. Kejujuran tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang. Mereka akan aku jadikan anggota keluargaku. Biarlah Ruhayati menjadi saudara bagi Puteri Andini anakku”.

Begitulah buah kejujuran. Ruhayati bersama ibunya telah memetik hasilnya. Kini mereka berdua hidup bahagia di tengah keluarga Baginda Jagadira.