Lelaki yang duduk di depan saya ini berwajah sangat kuyu, kelihatan lebih tua sepuluh tahun padahal umurnya sebaya dengan saya. Semalam, dia datang ke rumah pinjam uang untuk membelikan buku untuk anaknya.
Satu setengah tahun lalu, dia masih gagah perkasa. Energik. Sebagai general manager di sebuah perusahaan PMA, penghasilannya bisa untuk hidup di atas rata-rata dibanding tetangga kiri kanannya. Kini, dia tengah menjalani hidup sebagai Satrio Kelara-lara.
Ini bermula ketika terjadi euphoria per-caleg-an. Saya tidak tahu persis proses masuknya dia ke dunia partai politik. Hanya saya mendengar kalau teman yang satu ini mendaftar sebagai caleg, bahkan untuk mendapatkan nomor urut 1 dia harus merelakan mobilnya. Hukum alam pun berlaku : ada gula ada semut. Banyak orang yang menawarkan diri sebagai tim suksesnya.Tiada hari tanpa penggalangan massa, dan itu membutuhkan banyak biaya.
Keputusan MK yang menyatakan penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, telah mengacaukan program teman saya. Satu demi satu, tim suksesnya melakukan perselingkuhan dengan caleg lain, dan akhirnya teman saya ditinggalkan. Teman saya terpuruk meratapi nasibnya. Dia jadi malas ke kantor, di rumah pun jarang, dia pergi entah ke mana, yang penting bisa menghindar dari para penagih hutang. Sertifikat rumah telah tergadaikan, anak istrinya merana tiang perekonomian rumah tangga sebentar lagi ambruk. Celaka lima belas, teman saya dipecat dari kantornya. Kiamat. Kini hidup dari belas kasihan teman, baik teman dekat atau teman jauhnya. Saya yang jadi teman jauhnya, mulai didekati untuk ikut “memikirkan” nasib buruk yang sedang menimpanya.
Kok di gendang telinga saya sayup-sayup terdengar penggalan lagu ‘Sahabat’ milik Bang Haji Rhoma Irama :
Mencari teman memang mudah
‘Pabila untuk teman suka
Mencari teman tidak mudah
‘Pabila untuk teman duka
Note : Satrio Kelara-lara = ksatria yang sedang terpuruk karena pengkhianatan teman-teman dekatnya