Disclaimer : Tulisan ini bersifat provokasi untuk melengkapi postingan PPC : Parade Puisi Cinta karya Bundo Nakjadimande yang mendorong teman-teman narablog supaya ikut meramaikan Acara Unggulan Parade Puisi Cinta yang diselenggarakan oleh Pakde Cholik. Bagi Anda yang alergi berpuisi, saya rekomendasikan untuk tetap melanjutkan membaca tulisan ini.
Pada kolom komentar, baik di postingan Pakde Cholik maupun Bundo (beliau berdua ini secara aklamasi mengangkat diri sebagai dewan juri PPC) banyak komentar yang bernada takut, kurang pede atau kurang yakin apakah bisa membuat sebuah puisi? Sebegitu menakutkankah membuat sebuah puisi?
Iseng-iseng ketikkan kata kunci “cara membuat puisi” di google. Nanti ada sekitar 758,000 hasil telusur untuk cara membuat puisi. Waw… banyak sekali ya. Secara random saya membaca dengan cara cepat, dan malah membuat bingung, karena tidak ada aturan baku bagaimana membuat sebuah puisi. Kira-kira yang saya dapatkan seperti ini : beberapa kalangan menganggap bahwa puisi yang terbaik memiliki ciri-ciri yang luas, tidak lekang oleh waktu, dan memiliki gambaran umum bagi seluruh umat manusia. Sementara kalangan lainnya lebih mementingkan kualitas dari fakta dan keindahan yang terkandung dalam puisi tersebut.
Saya pun membongkar koleksi buku yang saya beri label “sastra”. Aha! Saya mendapatkan buku Puisi mBeling Remy Silado. mBeling berarti nakal. Remy Sylado adalah salah seorang tokoh gerakan puisi mBeling yang dikreasinya bersama pelukis Jeihan Sukmantoro pada awal tahun 1970-an di Bandung. Gerakan puisi mBeling untuk pertama kalinya dipublikasikan di majalah Aktuil pada bulan Agustus 1972, dan kemudian merambah ke majalah dan harian lainnya. Lewat gerakan puisi semacam itu dunia perpuisian Indonesia ketika itu menjadi geger, karena ia menentang penulisan puisi lirik ala majalah sastra Horison. Lewat gerakan puisi tersebut, kita bisa membaca bahwa kesan main-main menjadi hal yang sangat penting dalam penciptaan puisi.
Saya kutipkan salah satu contohnya :
Kalau Chairil Anwar binatang jalang
Di blok apa tempatnya di Ragunan?
Puisi yang diberi judul “Di Blok Apa” itu, membuat kita tertawa, ketika kita ingat puisi yang ditulis oleh almarhum penyair Chairil Anwar. Dua larik dari sekian larik puisi yang ditulis oleh penyair yang dikenal sebagai tokoh Angkatan 45 itu antara lain berbunyi : Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulan terbuang.
Puisi lainnya yang mengundang tawa, ketika ia memainkan nama sekaligus makna caterina dalam puisinya yang diberi judul Caterina :
Caterina dari Alexandria
pelindung Universitas Sorbonne
dia santa
Caterina dari Siena
pelindung lembaga amal
dia santa
Caterina dari Indonesia
pelindung aurat doang
dia tekstil
Jadi, dalam berpuisi kita bebas saja memilih kata-kata. Boleh yang lugu, apa adanya, lucu atau mendayu-dayu penuh kata-kata bersayap. Tidak ada yang melarang untuk mengekspresikan isi hati, kok.
Banyak penyair terkenal kalimat dalam puisinya mudah dipahami oleh orang awam. Seperti puisi Surat Cinta-nya WS Rendra misalnya. Berikut penggalan di alenia terakhir :
Kutulis surat ini
kala hujan gerimis
kerna langit
gadis manja dan manis
menangis minta mainan
Dua anak lelaki nakal
bersenda gurau dalam selokan
dan langit iri melihatnya
Wahai, Dik Narti
kuingin dikau
menjadi ibu anak-anakku!
Atau puisi karya Gus Mus berjudul Selembar Daun :
aku sedang memejamkan mata
memikirkanmu
ketika selembar daun
bagai beludru
biru keemasan warnanya
tiba-tiba jatuh ke pangkuanku
kuelus daun yang seperti basah itu
dalam keriangan bocah
ah, pasti kau yang mengirimkannya, bukan?
– seperti semua yang tiba-tiba datang membahagiakanku –
semoga isyarat darimu :
cintaku kau terima
Anda masih kurang pede membuat puisi? Belajarlah kepada sahabat ngeblog kita, Pak Sunarno Sahlan yang juga mantan Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Purwokerto aslinya dari Boyolali.
Jadi, masihkah Anda belum berani mengikuti Acara Unggulan Parade Puisi Cinta? Kebangetan, kalau nggak berani!