Joko Tarub kelelahan. Kayu bakar yang ia kumpulkan sejak pagi tadi sudah cukup banyak, bisa digunakan untuk satu pekan ke depan. Joko Tarub hidup berdua saja dengan ibunya. Ia duduk di bawah pohon, matanya menatap pohon kelapa yang menjulang tinggi di depannya.
Ia ingin sekali menikmati sebutir kelapa muda untuk mengobati rasa hausnya. Ia pun segera memanjat pohon kelapa itu. Belum sampai puncak pohon, ia menyaksikan sebuah pelangi di atas telaga yang tidak jauh dari tumbuhnya pohon kelapa itu.
Joko Tarub terpana menyaksikan indahnya pelangi yang berwarna-warni itu. Seumur hidupnya, baru sekali itu ia melihat pelangi. Ya, pelangi memang pemandangan indah yang jarang bisa dilihat oleh setiap orang. Pelangi yang berbentuk seperti busur di langit muncul karena adanya pembiasan dari sinar matahari. Pelangi biasa terlihat di daerah pegunungan atawa ketika sedang mendung atawa ketika hujan baru berhenti turun. Pelangi ini satu-satunya gelombang elektromagnetik yang dapat dilihat oleh mata telanjang manusia.
Joko Tarub hampir jatuh, karena terlalu takjub dengan pemandangan indah sang pelangi. Ia naik lagi, lalu duduk di pelepah daun kelapa. Ia menikmati pelangi yang terdiri dari beberapa spektrum warna itu: merah, jingga, kuning, hijau, biru, ungu dan sebetulnya masih ada warna lain yang tidak dapat terlihat langsung oleh matanya.
Ia semakin takjub ketika melihat sekelompok perempuan meniti pelangi itu. Para perempuan itu berparas cantik, berselendang warna-warna serasi dengan warna pelangi. Selendang-selendang perempuan itu layaknya kepakan sayap.
“Itukah yang dinamakan bidadari turun dari kahyangan?” gumam Joko Tarub.
~oOo~
Para bidadari yang berjumlah tujuh itu rupanya turun mandi di telaga. Tak lama kemudian pelangi itu hilang entah ke mana.
Dari atas pohon, Joko Tarub mengamati tingkah para bidadari. Tanpa ia sadari ia tertawa sendiri, ketika salah seorang bidadari yang tak pandai berenang. Bidadari yang tak pandai berenang itu berbadan subur-makmur, lêmu ginak-ginuk.
“Ha…ha…. kasihan, dia nggak bisa berenang!” teriaknya, cukup keras.
Suara Joko Tarub mengagetkan para bidadari. Mereka menjerit, mengemasi pakaiannya masing-masing dan memasang dengan terburu selendang warna-warni mereka.
“Ayo teman-teman. Kita kembali ke kahyangan. Ada manusia yang telah memergoki keberadaan kita!” kata bidadari yang berselendang hijau. Para bidadari segera meninggalkan telaga dan terbang ke angkasa.
“Tunggu…!!! Aku nggak bisa terbang nih. Tolong tarik tanganku…!” teriak bidadari berbadan subur-makmur. O, rupanya teman-temannya tidak mendengar teriakannya. Mereka meninggalkannya. Bidadari berbadan subur-makmur tetap berusaha untuk bisa terbang, tetapi berat tubuhnya tidak kuat menolak gravitasi bumi, “Byuuuurrrrr…..!!!!” Ia jatuh berdebam ke tengah telaga.
Tanpa pikir panjang, Joko Tarub turun dari pohon kelapa untuk menolong bidadari yang hampir tenggelam itu.
~oOo~
Dengan susah payah, Joko Tarub membawa perempuan bertubuh subur itu ke tepi telaga. Ia menepuk-nepuk pipi tembam bidadari supaya siuman dari pingsannya.
“Siapa kamu?” tanya bidadari subur-makmur, kaget ada seorang lelaki di sampingnya.
“Tenang. Aku yang menolongmu dari tenggelam di tengah telaga itu. Namaku Joko Tarub. Kamu siapa?” jawab Joko Tarub.
“Namaku Nawangwulan,” katanya pelan, lalu pingsan lagi.
“Lêmu tenan, kiyi,” gumam Joko Tarub.