Bhisma – Srikandi

Padang Kurusetra tempat berlangsungnya perang Bharatayuda itu senyap. Bukan karena perang sudah usai, justru di hari itu menjadi puncak peperangan dua sodara sedarah, antara Pandawa dan Kurawa. Senyap karena semua orang menahan nafas. Pahlawan-pahlawan Kurawa hampir semuanya tewas di Kurusetra. Pun di pihak Pandawa, generasi muda penerus tahta Pandawa meregang nyawa dalam perang tersebut.

Dua pasukan besar sudah berhadap-hadapan. Namun, semua masih bertanya dalam hati siapa yang akan menjadi panglima perang mereka. Hari itu, Yudhistira sudah merencanakan menunjuk Arjuna sebagai panglima perang dari pihak Pandawa. Tapi, Kurawa akan menunjuk siapa? Yudhistira bertanya dalam hati. Masih adakah pahlawan Kurawa yang melebihi kehebatan Karna?

Sesungguhnya, apa yang dipikirkan Yudhistira juga dipikirkan juga oleh anggota Pandawa yang lain. Apakah tidak lebih baik jika Kurawa takluk saja kepada Pandawa, setidaknya untuk menghindari kematian prajurit secara sia-sia?

Belum juga mereka dapat menjawab pertanyaan yang berkecamuk di pikiran, mereka dikejutkan oleh hadirnya sosok sepuh yang maju sebagi panglima perang dari Wangsa Kurawa. Ia adalah Resi Bhisma. Kakek yang sangat dihormati dan disegani oleh keluarga Bharata. Yudhistira mengucek matanya, untuk meyakinkan apa yang ia lihat adalah bukan ilusi.

Memang benar, Resi Bhisma telah diangkat menjadi panglima perang. Jenderal Besar bintang tujuh yang kesaktiannya tiada tanding itu akan berperang atas nama Kurawa. Ia juga mesti berperang melawan cucu-cicit sendiri yang kini ada di pihak Pandawa. Aku hanya menjalankan jalan takdirku.

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu, Kresna buru-buru menghampiri Yudhistira. Kresna, manusia setengah dewa yang ngerti sadurunge winarah itu membisiki Yudhistira untuk menarik Arjuna sebagai panglima perang dan menggantinya dengan yang lain.

Ketika mendengar nasihat Kresna, Yudhistira mengerutkan jidatnya. Tak percaya apa yang ia dengar dari mulut Kresna. Apa ia mampu menjadi panglima perang dan mengalahkan Resi Bhisma?

Arjuna ditarik mundur. Semua orang terkejut dengan tindakan gegabah yang diambil oleh Yudhistira. Tapi bagaimana pun, keputusan Yudhistira adalah sebuah titah yang tak boleh ditawar1.

Sementara itu, Resi Bhisma melangkahkan kakinya ke tengah medan pertempuran. Prajurit Kurawa bersorak membahana. Sebagian prajurit Pandawa gemetar ketakutan menyaksikan perbawa Resi Bhisma.

Kali ini, gantian Resi Bhisma yang terkejut alang-kepalang ketika ia menyaksikan panglima perang yang diangkat oleh Yudhistira. Ah, cucuku Yudhis sedang bercanda rupanya.

Panglima perang Pandawa itu adalah seorang perempuan. Srikandi, namanya.

Langkah anggun Srikandi yang berjalan ke tengah arena perang mencuri perhatian semua orang yang berada di Padang Kurusetra. Semilir angin pagi itu menerpa kain yang dikenakan Srikandi. Berkibar lembut. Semua itu makin membuat Srikandi memantapkan hati bertempur dengan sesepuh Wangsa Bharata.

Lamat-lamat terdengar sebuah tembang yang membuat suasana makin tintrim. Tembang Kinanthi atawa Asmarandana-kah yang tercipta dari dentingan sinar gitar akustik itu? Tanpa mereka sadari, ternyata di salah satu sudut Padang Kurusetra, di bawah pohon jambu, seorang lelaki tengah memainkan gitar made in Solo. Lelaki itu masih setia menyaksikan perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Ia adalah Sungging Prabangkara2.

Catatan kaki:
1Dalam versi aslinya, Arjuna bertempur melawan Bhisma dibantu oleh Srikandi, salah satu istrinya. Tak semua perilaku Pandawa itu mencerminkan watak ksatria. Di kisah ini, Pandawa berlaku curang lagi. Seperti ketika Arjuna tanding melawan Karna.
2Sungging Prabangkara beberapa kali saya munculkan di Padeblogan. Sesungguhnya, bukan Kinanthi apalagi Asmarandana yang ia nyanyikan, tetapi Padeblogan theme song. Matur nuwun untuk Mpu Vyan RH yang bertahta di Padepokan Lebegede, atas penciptaan lagu tersebut.