Kini, Bhisma dan Srikandi berhadap-hadapan. Cuma berjarak sepuluh jengkal. Bhisma dapat mendengar detak jantung Srikandi yang gentar menghadapinya.
“Kakek, jika ini waktu kematianku jangan ragu menghunjamkan anak panahmu di dadaku!” Srikandi tak mampu menyembunyikan suaranya yang gemetar.
“Mas Yudhis telah menunjukku sebagai panglima Pandawa pada peperangan hari ini.”
Bhisma tak bergeming. Ia malah menatap mata Srikandi. Setelah itu, hanya dalam sekali tarikan nafasnya, ia dikejutkan adanya cahaya putih yang merasuk ke dalam tubuh Srikandi. Bhisma terkesiap, mundur dua langkah.
“Amba?! Kau kah Amba yang merasuk ke badan wadag Srikandi?”
“Benar Bhisma, akulah Amba. Seorang perempuan yang pernah kau campakkan. Kini saatnya aku menuntut balas untuk mengobati sakit hatiku.”
“Ke mana saja kau selama ini, Amba?”
“Bukan urusanmu, hai lelaki tua bangka!”
“Aku harus bertanya seperti itu kepadamu. Aku harus menjalankan peran yang diskenariokan oleh Pak Dalang. Ceritakanlah kisahmu setelah kau meninggalkan Hastinapura dulu. Ya, aku tahu hari ini adalah takdir kematianku. So, tolong berceritalah….”
Bhisma memohon, Amba tak kuasa menolak. Ia pun mengisahkan perjalanan panjangnya.
“Setelah aku menerima kalung bunga teratai1 dari Dewa Subrahmanya, aku mengembara mencari ksatria yang mau memakai kalung bunga teratai itu. Memang sudah nasibku, tak seorang pun mau bertempur denganmu menggunakan kalung sakti itu. Akhirnya, aku tiba di Kerajaan Pancala. Aku menghadap raja Drupada menyampaikan permohonanku. Ditolak juga. Aku berlari dengan membawa kekecewaan yang amat dalam. Namun, sebelumnya aku tinggalkan kalung bunga teratai itu di pintu gerbang Kerajaan Pancala.”
Amba mengambil nafas. Bhisma dengan takzim mendengar kisah Amba yang memilukan hatinya. Para prajurit dari dua kubu gelisah, tak sabar ingin segera mendapatkan aba-aba perang dari panglima mereka.
“Aku berlari ke dalam hutan. Di sana aku bertemu banyak pertapa. Sebagian dari mereka menyarankan aku supaya bertemu pertapa sakti yang bernama Parasurama.”
“Kamu bertemu dengannya, Amba?”
“Iya, aku bertemu Resi Parasurama.”
Sampai di titik ini, Bhisma terkenang pertemuannya dengan Parasurama beberapa tahun berselang. Waktu itu, Parasurama menantang Bhisma untuk bertarung. Sebuah pertarungan yang aneh, karena Parasurama bertarung dengan Bhisma atas nama Amba. Rupanya, ketika Amba datang ke Parasurama, ia tersentuh oleh nasib buruk yang menimpa Amba dan ia pun menyanggupi bertempur dengan Bhisma.
Karena kedua resi tersebut sama-sama sakti, pertempuran berlangsung sangat lama. Namun, Parasurama kalah. Ia segera kembali ke hutan dan menemui Amba yang setia menungguinya.
“Amba, aku takluk oleh kesaktian Bhisma. Saranku, kembalilah ke Bhisma, serahkan nasibmu kepadanya. Sepertinya, hanya itu yang dapat kau lakukan,” tutur Parasurama kepada Amba.
Bhisma dengan sabar menunggu kelanjutan kisah Amba.
“Aku meradang terbakar amarah yang sangat panas. Dendam kesumat untuk membunuhmu aku bawa berlari ke puncak Mahameru. Aku melakukan tapa brata paling berat. Aku bermohon kepada Bathara Syiwa supaya sudi menolongku. Pada hari kesebelas, Bathara Syiwa datang menemuiku.”
Hati Bhisma gemetar ketika Amba menyebut Bathara Syiwa datang menemuinya.
“Bathara Syiwa sebentar saja menemuiku, ia berkata bahwa pada kehidupan yang akan datang aku akan dapat membunuhmu dengan tanganku sendiri. Inilah saat yang dijanjikan Bathara Syiwa itu! Bersiaplah bertempur denganku, Bhisma!”
“Sebentar… sebentar Amba, kisahmu belum usai. Setelah itu kau ke mana?”
“Apa pedulimu?!”
Bhisma diam. Bersemedi sejenak. Sukmanya mengembara ke masa di mana Amba setelah bertemu dengan Bathara Syiwa.
Rupanya, setelah kepergian Bathara Syiwa hati Amba menjadi tak sabar menanti sebuah prosesi reinkarnasi yang akan datang. Ia tak tahu, ia akan bereinkarnasi kepada siapa nantinya. Ia kumpulkan dahan dan kayu kering. Ia pantikkan api ke tumpukan kayu kering tersebut. Hembusan angin mempercepat pembuatan api unggun.
Tanpa ragu, Amba menceburkan diri ke dalam api unggun yang dibuatnya tadi. Bathara Syiwa iba oleh pengorbanan Amba. Ia angkat tubuh Amba dan membawanya ke swargaloka. Beberapa tahun kemudian, Amba terlahir kembali melalui anak Raja Drupada, yang tak lain adalah Srikandi2.
Catatan kaki:
1Kisah ini dapat dibaca di artikel Amba Kelara-lara
2Di masa remajanya, Srikandi menemukan kalung bunga teratai yang masih berada di pintu gerbang keraton Drupada. Tanpa ragu, ia gantungkan kalung itu di lehernya. Raja Drupada cemas melihat perbuatan gegabah yang Srikandi lakukan. Ia takut hal itu dapat membangkitkan kemarahan Resi Bhisma.