Kalau di hari Minggu kemarin kita bicara nasi, kini kita bicara beras. Zaman Orde Baru dulu bangsa kita pernah dibanggakan oleh dunia, karena berswasembada beras, bahkan bisa ekspor ke negara lain. Saban malam, berita di TVRI menyiarkan keunggulan beras lokal kita dengan berbagai macam varietas unggul yang berhasil diciptakan oleh para insinyur pertanian negeri ini. Satu nama varietas yang saya ingat sampai sekarang adalah varietas unggul tahan wereng. Keren!
Mari kita berkenalan dengan benda yang bernama beras itu. Ia didefinisikan sebagai butiran padi/gabah yang telah terkelupas kulitnya, yang jika ditanak akan menjadi nasi.
Dalam khazanah bahasa Indonesia, banyak istilah yang berhubungan dengan beras, misalnya beras bersih yakni beras yang tidak mengandung benda-benda asing; beras bertih yakni beras yang digoreng tidak dengan minyak; beras campur yakni beras yang berasal dari dua atawa lebih varietas padi atawa gabah; beras dagang diartikan sebagai beras yang diimpor; beras giling yakni beras yang dikupas dengan mesin penggiling; beras jernih yakni beras giling yang butir-butirnya tidak mengapur; beras kencur yakni obat tradisional yang terbuat dari beras dan kencur ditumbuk halus – yang dapat diminum atawa dioles, untuk obat pegal linu; beras kepala berarti beras yang paling baik karena bentuknya utuh; beras ketan yakni beras yang apabila ditanak lekat-lekat, disebut juga sebagai beras pulut; beras ketas/petas yakni bermacam-macam beras; beras kumbah yakni beras basah; beras lembap yakni beras basah; beras meja yakni beras yang putih dan baik; beras merah yakni beras yang bernilai gizi tinggi dan berwarna merah; beras patah yakni beras yang pecah sehingga bentuknya tidak utuh; beras pecah yakni beras dengan ukuran seperlima atawa sepersepuluh dari panjang butir aslinya; beras pecah yakni kulit butir padi yang kulitnya sudah dilepaskan, tetapi belum disosoh; beras putih yakni beras giling dengan derajat sosoh yang tinggi; beras recak disebut sebagai menir; beras setengah olah adalah beras giling yang setelah penggilingan direndam dulu di air, dikukus, kemudian dikeringkan untuk ditanak kembali; beras setengah tanak yakni beras setengah olah; beras sosoh yakni beras yang sudah dibersihkan hingga hilang selaput bijinya atawa beras yang telah dilepaskan sekam, lembaga, dan kulit arinya dengan cara menumbuk – tanpa menggunakan tenaga motor; beras tumbuk yakni beras yang dikupas kulitnya dengan ditumbuk; beras utuh adalah beras pecah kulit, beras tumbuk, atawa beras giling yang berukuran sama atawa berukuran tiga perempat bagian panjang butir yang tidak patah; dan sebagainya.
Dalam peribahasa digunakan pula kata beras, seperti ada beras taruh dulu padi, rahasia hendaklah disimpan baik-baik; tak beras antah dikisik, melakukan segala sesuatu asal maksudnya tercapai; dan tak ada beras yang akan ditanak, tidak ada kelebihan yang pantas dikemukakan.
Negeri kita kaya akan jenis beras yang berkualitas prima, sebut saja misalnya beras Pandanwangi, Rojolele, Cianjur, Cempo Ireng, Bareh Solok, Andel Abang, Jowo Melik, Saudah, dan sebagainya. Sungguh, padi yang melimpah di negeri Jamrud Khatulistiwa ini adalah berkah Ibu Pertiwi.
Konon, pada tahun 1960-an padi lokal kita mempunyai sekitar 7000 jenis dan saat ini hanya tersisa 300. Entah salah siapa, kenapa kini pemerintah lebih suka mengimpor beras, daripada memberdayakan potensi negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.