Saya kembali dari toilet, di lobby hotel sudah ada ketiga puteri Jepara yang sedang ngobrol bareng Nyonya Abendanon. Saya bermaksud pamitan, karena tugas saya sudah selesai mengantar trio puteri Adipati Jepara dengan selamat bertemu dengan orang yang dituju sesuai pesan RMA Sosroningrat.
Tapi Kartini menahan maksud saya dan mengajak saya mengudap snack dan ngopi-ngopi dulu. Kami berjalan ke arah Den Haag Café. Vegetarisme itu doa tanpa kata kepada Yang Maha Tinggi. Saya jadi teringat kata-kata Kartini tadi pagi.
Kami duduk di bangku di pojok ruangan. Nyonya Abendanon masih memegang ipet saya. Ia asyik betul dengan sabak1 modern itu. Tiba-tiba Nyonya Abendanon mengamati wajah saya, kemudian matanya menatap ke layar ipet. Begitu berulang-ulang.
“The Padeblogan ini punya Kyaine? Ini saya lihat ada foto jij, betul?” kata Nyonya Abendanon sambil menunjukkan layar ipet.2
Saya tersenyum dan mengangguk. Nyonya Abendanon menunjukkan ipet itu kepada Kartini, lalu Kardinah dan Roekmini.
“Paman Kyaine suka menulis juga ya?” ujar Kartini.
“Saya terinspirasi olehmu, Kartini. Saya suka membaca surat-suratmu, catatan harianmu, puisi maupun prosamu. Bahkan ketika saya menerbitkan buku, setelah membaca biografimu,” jawab saya malu-malu.
“O iya? Bagaimana paman bisa tahu kalau mBakyu Tini suka menulis?” tanya Roekmini.
Ketika saya akan menjawab, Nyonya Abendanon keburu berbicara.
“Kartini menjadi perempuan hebat karena kegiatan menulisnya, Kyaine. Seingat saya pada umur 16 tahun ia telah menulis sebuah karangan antropologi tentang adat perkawinan di Jepara. Kemudian kemampuan tulis-menulisnya diasah dengan mengirimkan surat-suratnya kepada sahabat penanya termasuk saya.”
“Karangan itu kutulis kurang lebih empat tahun yang lalu dan tak pernah kulihat-lihat lagi, sampai beberapa waktu yang lalu dalam membongkar kertas-kertas tua tertatap kembali olehku tulisan itu. Ayahlah yang mengirimkan karangan itu dan beberapa waktu kemudian aku menerima kiriman setumpuk cetakannya,” kata Kartini.3
“Judul karangan Kartini itu adalah Bijdragen tot de Taal-Land-en Volkenkunde van Ned-Indië,” jelas Kardinah kalem. “Terus, buku paman Kyaine judulnya apa?” lanjutnya.
Saya keluarkan tiga buku karangan saya dari tas selempang kesayangan: Kita Sangat Akrab Dengan Tuhan, Srikandi Ngedan dan Giliran Petruk Jadi Presiden. Kartini mengambil buku Srikandi Ngedan, membuka dan membaca sepintas. Saya lihat ia mengerutkan dahinya.
“Mungkin bahasa saya aneh bagi Kartini. Tapi tujuan kepenulisan saya mengenai pewayangan supaya dapat dipahami oleh generasi masa kini. Wayang adalah seni rakyat, makanya ia harus dapat dinikmati oleh rakyat tanpa kehilangan jati dirinya,” ujar saya.
“Siapakah yang dapat menggarap kepentingan-kepentingan kesenian Jawa dengan lebih baik kalau bukan putra rakyat sendiri, yang lahir bersama kecintaannya pada kesenian4. Betewe, siapa pembaca buku-buku paman ini?” tanya Kartini.
“Justru di sini kebanggaan saya, Kartini. Pembaca buku-buku saya mayoritas para penulis, beberapa di antaranya pengarang5,” jawab saya.
“Buku-buku ini untuk kami?” tanya Kardinah.
Saya mengangguk senang. Sebab buku saya bisa jadi tambahan koleksi perpustakaan keluarga Kartini. Siapa tahu setelah menerima buku dari saya, Kartini akan menceritakan kepada Estelle Zeehandelaar.6
Nyonya Abendanon yang sejak tadi sibuk dengan mainan barunya, menyeletuk.
“Sabak berkaca ini untuk saya ya?”
Bersambung ke #4
Catatan kaki:
1Sabak adalah alat tulis yang digunakan pelajar Indonesia pada zaman penjajahan. Sabak berfungsi seperti buku tulis, dan grip berfungsi sebagai pensilnya.
2Maaf sekali sodara-sodara, sudah lama saya nggak bernarsis-diri.
3Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tertanggal 6 Nopember 1899.
4Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar tertanggal 11 Oktober 1901.
5Selain Narablog, saya sungguh terkejut setelah browsing di internet, ada lebih dari 5 pembaca buku saya adalah mereka orang-orang yang hebat di bidangnya. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas apresiasi dan masukan yang diberikan untuk kemajuan jejak kepenulisan saya.
6Kartini pernah berkirim surat kepada Estelle Zeehandelaar tertanggal 9 Januari 1901, isinya seperti ini: Baru saja kami menerima hadiah-hadiah buku dari kawan di antaranya karya yang indah permai Bertha von Suttner De Wapens Neergelegd.