Bersama Kartini di 2014#1

Dimas Kjaine Goeskar Soerjatmodjo, tolong djempoet poetri-poetri saja di Batavia Zuid tanggal 5 April nanti. Sekaligoes tolong diantar ke  Buitenzorg, mereka ingin berdjoempa dengan Njonja Abendanon.
dari RMA Sosroningrat – Jepara

Saya gelisah di duduk di kursi peron Stasiun Jakarta Kota menunggu datangnya kereta dari Semarang. Adakah kereta api dari Semarang ke Jakarta Kota? Rasanya kereta tersebut berhenti di Stasiun Gambir, deh. Tapi kenapa surat RMA Sosroningrat itu meminta saya menjemput para putrinya di Stasiun Jakarta Kota? Ketika saya akan beranjak dari tempat duduk untuk bertanya kepada petugas stasiun, terdengar woro-woro kalau kereta dari Semarang akan memasuki Stasiun Jakarta Kota atau zaman Belanda dulu disebut sebagai Batavia Zuid1.

Tak lama, saya lihat ada tiga gadis turun dari kereta. Dari penampilan mereka yang berkebaya a la putri keturunan bangsawan Jawa akhir abad sembilan belas, saya dapat memastikan kalau mereka bertiga adalah putri Bupati Jepara: Kartini, Kardinah dan Roekmini. Saya segera menghampiri mereka yang kelihatan sangat kikuk dengan keadaan sekitar stasiun. Tentu saja mereka kikuk, karena kini mereka berada 157 tahun setelah jaman mereka.

“Selamat datang di Negeri Indonesia!” sapa saya.

Pakaian yang mereka kenakan menarik perhatian orang-orang di sekitar peron. Saya segera ajak mereka ke parkiran, saya harus mengantar mereka ke Bogor.

“Keretanya2 aneh sekali, ya mBakyu?” kata Roekmini pada kakaknya, entah ke siapa.

“Kalian sekarang berada di tahun 2014, wahai para Puteri, ” tukas saya sambil menstarter Nyai Xenia. “Mungkin bahasa jaman dulu menyebut mobil dengan kereta,” batin saya.

“Oke, sekarang kita berangkat ke Buietenzorg3 tapi sebelumnya kita cari sarapan dulu ya?” pancing saya.

“Baik, paman. Kata ayah, Paman Kyaine yang akan mengatur semua,” jawab Kardinah.

Sejauh ini saya belum mendengar Kartini bicara. Pembawaannya tenang, berwibawa meskipun ia masih muda.

***

Kami sarapan di sebuah resto di bilangan Bunderan HI. Sengaja saya cari resto yang ada menu vegetarian, karena Kartini dan adik-adiknya hanya makan tanaman saja. Gaya hidup Kartini bersaudara ini saya ingat setelah membaca salah satu suratnya:  “Kami sekarang pantang makan daging. Sudah lama kami merencanakan itu, dan bahkan beberapa tahun saya hanya makan tanaman saja, tetapi tidak punya cukup keberanian susila untuk bertahan. Saya masih muda sekali, masih berusia 14, 15 tahun.”

Ndarajeng4 Kartini, maaf ya saya sendiri akan makan dengan menu yang lain, bukan yang vegetarian,” kata saya.

“Panggil aku Kartini saja5, paman. Ingat loh paman, vegetarisme itu doa tanpa kata kepada Yang Maha Tinggi,” ujar Kartini.

Saya perhatikan ketiga gadis yang duduk di depan saya itu. Mereka dengan tenang menikmati makanannya, tanpa bertutur kata. Dengan pelan-pelan mereka mengunyah, seakan mereka berkomunikasi dengan makanan yang ada di piring mereka.

Setelah selesai sarapan kami melanjutkan perjalanan ke Kota Bogor. Tentu mereka kelelahan setelah semalaman naik kereta api dan memerlukan istirahat.

Buitenzorg-nya di mana, nih?” tanya saya.

“Nyonya Abendanon meminta kami menginap di Binnenhoff Hotel6, paman,” jawab Kartini.

***

Di hari sabtu seperti ini tol Jagorawi ramai kendaraan yang barangkali menuju kawasan Puncak. Saya nggak berani ngebut, pasalnya saya sedang membawa tiga gadis bangsawan Jepara yang sepanjang jalan menampakkan rasa gumun-nya terhadap kemajuan peradaban manusia. Tanpa saya duga, Kartini membuka suara.

“Paman, di tahun 2014 ini bagaimana peran perempuan… ee… apa nama negeri ini?” tanyanya. “Di sepanjang jalan tadi kok saya melihat banyak gambar-gambar perempuan yang mengepalkan tangan atau hanya sekedar tersenyum dengan aneka tulisan umbar janji-janji?” lanjutnya.

“Nama negeri ini Indonesia. Nanti di tahun 1928 nama Indonesia diperkenalkan ke penjuru dunia oleh anak-anak muda. Yah, banyak sekali peran perempuan di era ini, Kartini. Di semua lini kehidupan, tak bisa dilepaskan dari peran perempuan. Sangat maju dibandingkan dengan masa kalian bertiga. Negeri ini sedang musim kampanye, makanya panjenengan tadi banyak melihat banyak gambar seorang perempuan gemuk mengepalkan tangan!” jawab saya dengan tetap berkonsentrasi ke arah depan.

Wow… aku seorang perempuan duduk di belakang kemudi kereta!” teriak Roekmini. “Sudah demikian majunya negeri ini, paman,” lanjut Kardinah.

Bersambung ke #2

Catatan kaki:
1Batavia Zuid berarti Stasiun Batavia Selatan, nama ini muncul karena pada akhir abad ke-19, Batavia sudah memiliki lebih dari dua stasiun kereta api salah satunya Batavia Noord (Batavia Utara)
2Dialog ini terinspirasi dari Jangka Jayabaya bait ke 117 yang ditulis tahun 1135: mbesuk yen ana kereta lumaku tanpa turangga (suatu hari kelak jika kereta berjalan tanpa kuda), tanah Jawa kalungan wesi (Pulau Jawa berkalung besi, maksudnya banyak rel kereta api), perahu lumaku ing dhuwur awang-awang (perahu berjalan di angkasa, maksudnya pesawat terbang), kali gedhe ilang kedhunge, pasar ilang kumandangane (sungai besar kehilangan lubuknya, pasar kehilangan gaungnya), ya iku pertandhane tekane jaman (itu pertanda jaman telah tiba), kababare jangka Jayabaya wus amprepeki (ramalan Jayabaya sudah mendekati kenyataan)
3Nama Kota Bogor pada jaman kolonial Belanda, yang berarti tanpa kecemasan atau aman tenteram
4Singkatan dari Ndara Ajeng
5Judul sebuah buku biografi Kartini karya Pramoedya Ananta Toer
6Hotel ini dibangun pada 1856 selama era kolonial Belanda, kemudian sejak 1998 dibuka kembali dengan nama Hotel Salak The Heritage Bogor dengan gaya kolonial modern