Bergerak menuju ibu #7

Sudah menjadi kebiasaan ibu jika pertama kali bertemu dengan anak-anaknya – setelah sekian lama tiada bersua, ia akan berkata, “Wis mangan durung?” Tentu saja ia juga menanyakan kabar anaknya. Jika kami bilang belum makan, ia akan segera mempersiapkan makanan, entah mengeluarkan persediaan makanan yang ada di lemari makan atau memasak dulu, bahkan dengan berjalan tertatih ia menuju warung terdekat untuk membeli lauk. Meskipun nanti yang disajikan telur ceplok dengan nasi hangat, nikmatnya ora karuan sebab disajikan dengan kasih sayang.

Entah karena kurang pandai dalam manajemen waktu, bus yang membawa rombongan kami dari Madinah ke Mekkah terlambat 2 atau 3 jam. Sampai di hotel kami di Mekkah jam 11 malam. Ketika persiapan keberangkatan di Madinah kami diberitahu pihak biro travel kalau sampai Mekkah nanti kami akan makan dulu, pembagian kamar, dan persiapan pelaksanaan umrah. Memang demikian yang menjadi SOP-nya.

Tapi apa yang terjadi di hotel Mekkah?

“Karena bus 3 datang terlambat, dan restoran hotel ini sudah tutup maka jamaah tidak dapat jatah makan malam. Kami mohon maaf. Sekarang silakan masuk kamar masing-masing, nanti jam 12 kita ketemu di lobi hotel,” ujar salah seorang pembimbing yang mestinya lebih dulu sampai di Mekkah.

Pakaian ihram yang saya kenakan melarang saya untuk mengeluh gara-gara tak ada makan malam. Saya bertanya kepada ibu saya, apa sepotong roti yang dibawanya dari Madinah masih ada. Saya mengkuatirkan kondisi ibu dan para sepuh yang lain yang satu rombongan dengan saya.

***

Saya dan ibu tertinggal dari rombongan, sebab saya menyesuaikan langkah-langkah kakinya. Ibu tidak mau pakai kursi roda. Sesampainya saja, katanya.

Alhamdulillah, prosesi tawaf kami selesaikan lebih cepat dari rombongan karena kami mendapatkan posisi putaran dekat Ka’bah yang bahkan kami dapat menyentuhnya tanpa berdesakan. Seusai shalat dua rakaat di posisi lurusan pintu Ka’bah saya cium dan peluk ibu.

“Janjiku membawa ibu di depan Ka’bah sudah kesampaian,” bisik saya kepadanya. Kami berdua berlinang air mata.

Untuk prosesi Sa’i, kembali saya tawarkan kursi roda kepadanya. Ibu menolak. Pelan tapi pasti kami daki bukit Shafa dan Marwah. Saya mengenang Ibu Hajar yang berlari tujuah kali bolak-balik di kedua bukit ini untuk mencari air untuk Ismail anak yang dikasihinya di bawah matari yang terik dan jalanan berbatu. Kini, kami menapaktilasi peristiwa itu dalam kondisi yang sangat nyaman. Kami bertahalul. Saya gunting beberapa lembar rambut ibu. Kami selesai melaksanakan umrah sekitar jam 3 dinihari.

***

Dalam perjalanan pulang ke hotel, saya membeli nasi biryani dan teh hangat. Saya dan ibu duduk istirahat di pedestrian sambil mengudap nasi yang kaya akan rempah-rempah itu.

Apakah Anda sudah makan siang?