Almamater secara harfiah berarti ibu susuan. Dalam bidang akademik almamater untuk menyebut perguruan tempat seseorang menyelesaikan suatu jenjang pendidikan.
[1]
Senin kemarin waktu saya pergi ke JOG, saya bertemu dengan adik kelas dua tingkat di bawah saya ketika kuliah dulu. Saya cukup akrab dengannya karena pernah sama-sama jadi aktivis kampus. Saya aktivis amatiran, ia aktivis betulan.
Pertemuan dua jam di bawah rerimbunan pohon di halaman Kampus UNY banyak hal yang kami obrolkan. Termasuk kisah nostalgi saat kami dulu memperjuangkan idealisme kami.
Obrolan masuk pada keprihatinan kami pada dunia pendidikan nasional saat ini yang tidak mengajarkan budi pekerti lagi.
“Di zaman sekarang kita kudu bisa menjadi almamater bagi pekerti anak-anak kita, Mas!” ujarnya.
Saya menyetujui pendapatnya.
[2]
Sudah saya ceritakan dalam artikel #1 kepulangan kami ke SOC membawa serta dua kucing: Titi dan Grey. Begitu sampai di rumah mereka langsung dilepaskan begitu saja. Mereka sih cepat adaptasi dengan lingkungan rumah.
Selasa siang jadwal mereka untuk grooming. Karena saya tidak tahu di mana ada pet shop di sekitaran SOC maka saya asal jalan sambil tengak-tengok kanan-kiri jalan. Ketemulah pet shop di bilangan Jl. Radjiman.
Pelayanannya lumayan bagus. Dokter hewan yang menangani kedua kucing sangat ramah dan banyak memberikan ilmu perkucingan.
Ketika saya tanya ia lulusan dari PT mana, ia menjawab dari FKH UGM. Pada saat yang sama ada klien yang juga membawa kucing putihnya untuk di-grooming. Memang serba kebetulan, dari obrolan kami, diketahui kalau ia sedang menempuh pendidikan S2 di Fisipol UGM. Di sana ada tiga lelaki lahir dari ibu susuan yang sama: Gadjah Mada.
[3]
Tadi malam saya muter-muter Kota Karanganyar yang wilayahnya tak begitu luas itu. Tujuan saya mencari kudapan malam. Ketemu warung makan “Pak Wahono” timur Buk Siwaluh/depan Taman Makam Pahlawan. Di Karanganyar saya hanya kenal satu nama Wahono, dan itu teman SD saya. Puluhan tahun tak bertemu dengannya. Apa pemilik warung ini Wahono teman saya?
“Sampeyan apa Nano, putrane Pak Sapardi?” Pak Wahono balik bertanya ketika saya masuk warungnya dan bertanya kepadanya apakah ia anaknya pak Bejo.
Ternyata kami langsung saling mengenal kembali. Kami pun mengobrolkan masa sekolah dulu. Setelah lulus SD tahun 80, kami jarang bertemu. Apalagi kami tidak satu almamater di level SMP dan SMA.
Jika Anda berkesempatan dolan ke Karanganyar saya rekomendasikan mampir ke warung Pak Wahono. Mi goreng berasa sangat nyiamik.