Bergerak menuju ibu #4

Jeddah, 24 Desember 2015

Sekitar jam 08.30 waktu KSA saya mendarat di kota ini, setelah perjalanan panjang dan melelahkan dari JOG-CGK kemudian dilanjutkan CGK-JED. Jeddah ada yang mengartikan sebagai nenek, sebab konon makam Ibu Hawa – nenek moyang umat manusia di bumi ini – berada di kota ini.

“Jika aku diberi kesempatan untuk terlahir kembali, aku ingin menjadi nenekku atau ibunya ibuku.”

***

Saya pernah janji kepada ibu kalau ingin mengajaknya umrah bersama. Kisah Uwais al Qarni yang mengendong ibunya saat berhaji telah menginspirasi saya.

“Insya Allah pas jadwalnya nanti sakit nyeri pinggang ibu akan sembuh, jadi kita bisa umrah bareng,” ujar saya tiga bulan lalu setelah mendapatkan jadwal umrah yang pas.

Tak lama setelah itu saya mengabarkan kepadanya kalau namanya sudah saya daftarkan menjadi peserta jamaah umrah dari JOG. Ibu jadi bersemangat untuk sembuh dengan rajin melakukan fisioterapi.

Punya niat baik memang seharusnya disegerakan atau jangan ditunda. Urusan perpanjangan paspor ibu saya titipkan teman di Karanganyar. Eh, belakangan ibu juga dibantu untuk urusan vaksinasi meningitis. Selanjutnya, menjadi tugas Kika membawa paspor dan berkas-berkas persyaratan umrah kami ke kantor travel umrah yang berada di bilangan Jl. Cendana JOG.

***

Proses imigrasi yang lama di Bandara King Abdul Aziz Jedah sempat membuat saya ketar-ketir. Ibu terpaksa ndeprok di lantai karena kecapekan antri menunggu giliran untuk diperiksa paspor (plus sidik 10 jari dan difoto).

“Sebentar lagi kita masuk bus, nanti ibu bisa duduk,” hibur saya.

Sekitar jam 11an bus berangkat ke Madinah. Ibu yang duduk di sebelah saya tidak bisa tidur nyenyak sebab kakinya sangat cuapek, katanya. Sopir bus yang membawa rombongan kami berasal dari Indonesia. Ia cukup pintar memanfaatkan peluang. Pada saat beristirahat pertama di sebuah rest area, ia menawarkan dagangan yang dibawanya: CD film tentang perjuangan dan sejarah Kanjeng Nabi.

Pada istirahat kedua di rest area yang lain, kali ini pak Supir menawarkan minyak zaitun yang dikemas dalam botol. Jualan kali ini laris manis. Karena terlalu lama mengambil waktu istirahat untuk berjualan, bus kami ditinggal oleh bus rombongan lain. Eh, waktu maghrib berlalu, bus kembali istirahat di Bir Ali untuk kasih kesempatan kami laksanakan shalat. Untungnya pak Supir tidak lakukan aksi jual-beli barang.

Bus tiba di hotel Madinah ketika Masjid Nabawi tengah shalat isya. Tentu saja, kami rombongan paling belakangan tiba dengan terlambat.

***

Setelah makan malam kamar kami dibagi, saya sekamar dengan ibu. Kami bersih-bersih dan langsung tidur untuk mengistirahatkan raga yang kecapekan.

Seandainya kekreatifan pak supir dalam memanfaatkan waktu bisa dikendalikan oleh ustadz pembimbing, barangkali kami masih bisa mendapati shalat maghrib atau paling tidak shalat isya di Masjid Nabawi yang ganjarannya 1000 kali itu.