Berani jujur itu hebat

Mardani menata gerobaknya dengan hati-hati. Saban hari minggu ia suka mangkal di tepi danau yang berlokasi di kawasan perumahan elit. Di sana akan ramai oleh orang-orang yang berolah-raga pagi. Bubur ayam yang ia jual akan laris manis dibeli orang-orang yang selesai berolah-raga atau orang yang sekedar jalan-jalan pagi-pagi saja.

Nahas betul nasib Mardani. Hujan malam minggu membuat pinggiran danau licin, sehingga roda gerobaknya tergelincir dan gerobak itu masuk ke danau dan tenggelam. Ia memang mengambil posisi yang salah.

Pagi masih sepi. Belum ada orang kecuali dirinya. Mardani meratapi nasib buruk yang menimpanya. Berjualan bubur ayam adalah caranya menjemput rejeki. Lah, kalau gerobak dan isinya tenggelam, besok mau berjualan apa?

Ratapan Mardani membuat trenyuh hati peri penunggu danau. Ia menampakkan diri di hadapan Mardani. Sekedar basa-basi ia menyapa Mardani.

“Kenapa kamu menangis seperti ini?”

Mardani terkejut dan melangkah mundur, bahkan berancang-ancang lari. Ia menyadari sedang didatangi hantu.

“Jangan takut. Aku peri penunggu danau ini. Aku akan membantu kesulitanmu.”

Mardani menceritakan secara singkat nasib nahas yang baru saja ia alami. Peri danau tersenyum dan menyanggupi akan menolong Mardani. Peri danau menghilang terjun ke danau dan kembali ke hadapan Mardani bersamaan dengan munculnya sebuah gerobak sangat bagus bentuk dan modelnya. Di etalasenya dipenuhi oleh mangkuk mewah dan tumpukan uang yang sangat banyak.

“Ini, sudah aku ambilkan gerobakmu!”

Mardani terpana menyaksikan gerobak di samping peri hantu itu.

“Wahai peri, gerobak ini bukan milikku. Kamu salah mengambilnya.”

Peri hantu kembali terjun ke danau dan secepat kilat kembali lagi dengan membawa gerobak yang jauh lebih bagus dari gerobak pertama tadi. Lagi-lagi, Mardani terpesona oleh keindahan gerobak di hadapannya.

“Gerobaknya yang ini, bukan?”

“Wahai peri yang baik hati dan tidak sombong, maaf telah merepotkan. Sayangnya, gerobak ini bukan milikku juga.”

Peri hantu kembali terjun ke danau dan secepat kilat kembali lagi dengan membawa gerobak bubur ayam milik Mardani yang tadi jatuh ke danau. Hebatnya, gerobak dan buburnya tetap utuh bahkan berantakan pun tidak.

“Wahai peri, gerobak ini benar milikku. Terima kasih banyak telah membantuku. Kini aku tersenyum bahagia, pulang nanti aku membawa hasil untuk aku berikan kepada anak dan istriku.”

Mardani mengelus-elus gerobaknya. Ia senang bukan main. Ia menata gerobaknya agak jauh dari tebing danau.

“Wahai Mardani, karena kamu berani jujur maka aku hadiahkan dua gerobak ini kepadamu!”

Peri menghilang. Mardani mengucek matanya tak percaya atas keberuntungan yang ia dapatkan di hari minggu pagi. Keberuntungannya semakin menjadi-jadi, sebab dalam waktu yang sangat singkat bubur ayam miliknya laris-manis dan ludes. Ia pulang dengan hati berbunga-bunga.

Sampai di rumah ia ceritakan pengalaman bertemu dengan peri danau kepada istrinya. Tentu saja, kisah tersebut membuat istrinya penasaran. Esoknya, Mardani mengajak istrinya ke lokasi tempat kejadian perkara.

“Di situlah aku bertemu dengan peri danau!”

Mardani menunjuk lokasi TKP, dan dengan langkah mantap istri Mardani menuju ke tepi tebing danau. Karena kurang hati-hati, istri Mardani terpeleset dan ia terjun ke dalam danau. Tenggelam.

Mardani meraung-raung, minta tolong. Tak ada orang di sekitaran danau. Tak ada orang berolah-raga di senin yang sibuk seperti itu. Mardani melongok ke bawah, tak dilihatnya bekas jatuh istrinya.

Muncullah peri danau dan bertanya kepada Mardani kenapa menangis lagi seperti hari kemarinnya.

Mardani menceritakan secara singkat nasib nahas yang baru saja dialami istrinya. Peri danau tersenyum dan menyanggupi akan menolong Mardani. Peri danau menghilang terjun ke danau dan kembali ke hadapan Mardani bersamaan dengan munculnya seorang perempuan yang elok parasnya. Umurnya masih muda, tak ada keriput di kulitnya. Perempuan itu tersenyum kepada Mardani.

Peri danau menggandeng tangan perempuan elok itu untuk diberikan kepada Mardani.

“Ini, sudah aku ambilkan istrimu!”

Mardani terpana menyaksikan kemolekan perempuan di samping peri hantu itu. Matanya susah dikedipkan barang sejenak. Jakunnya naik-turun bersamaan dengan ludah yang ia telan.

“Terima kasih banyak peri, terima kasih telah menolong istriku ini.”

Mardani bergegas menghampiri perempuan berparas elok, namun tiba-tiba peri menghadangnya.

“Tidak kusangka, Mardani. Ternyata kamu lelaki pembohong. Kemarin aku salah menilaimu, kukira kamu lelaki yang jujur. Dengan kejadian ini aku jadi mengerti siapa kamu sebenarnya.”

Tangan peri danau terangkat ke atas, dan hal itu disadari oleh Mardani kalau peri danau akan mengutuknya.

“Sebentar peri danau, bukan maksudku untuk berbohong, Berikan aku kesempatan menjelaskan alasanku kenapa aku mengaku kalau perempuan ini istriku.”

Peri hantu menurunkan tangannya dan memberikan kesempatan Mardani memberikan penjelasan.

“Begini, nekjika aku mengaku kalau perempuan ini bukan istriku, berdasarkan pengalaman kejadian kemarin, kamu akan terjun lagi ke danau itu. Kemudian kamu membawa perempuan yang lebih elok lagi ke hadapanku. Terus, aku bilang ke kamu kalau perempuan yang kamu bawa itu bukan istriku. Kemudian kamu terjun lagi ke danau untuk ketiga kalinya, dan membawa istriku yang sebenarnya. Begitu, bukan?”

“Kalau kejadiannya memang seperti kemarin apa salahnya?”

“Karena aku telah jujur mengakui perempuan ketiga sebagai istriku, kamu akan memberikan hadiah kepadaku dua perempuan berparas elok, kan?”

“Iya. Lalu apa yang menjadi keberatanmu?”

“Wahai peri danau yang baik. Aku ini pedagang bubur ayam. Punya istri satu cukup, dan ia mau saya nafkahi dengan hasil jual bubur ayam. Lah, kalau kamu memberikan lagi dua perempuan, bagaimana aku bisa menghidupi tiga istri?”

Peri danau tertegun untuk merenungkan kata-kata Mardani. Tak lama kemudian, ia terjun ke danau dan kembali lagi dengan membawa istri Mardani yang sesungguhnya.