Bekerja itu beribadah juga

Akhir minggu ini, para buruh kembali bergolak. Mereka menamainya sebagai MONAS: mogok nasional. Tuntutan masih sama seperti yang sudah-sudah yakni mendapatkan upah yang layak. Mereka – para buruh itu – seakan tiada habis energinya untuk turun ke jalan dan berteriak lantang menyuarakan keinginannya. Mas Suryat heran saja kenapa mereka tidak mengedepankan dialog sesuai dengan sila keempat Pancasila kita.

Hape Mas Suryat berdering terus. Dengan kawan-kawannya di ujung telepon saling sharing info terkini mengenai gerakan buruh di kawasan-kawasan industri. Gino, si Mr. OB datang memberikan teh tawar pesanan Mas Suryat.

“Hei No, tadi masuk kantor kena macet demo nggak?” tanya Mas Suryat.

mBoten Pak. Mereka masih kumpul-kumpul di gerbang kawasan, tapi belum bikin macet, ” jawab Gino.

“Kamu nggak ikut demo?” pancing Mas Suryat.

Gino menggelengkan kepala. “Saya mensyukuri pekerjaan ini, Pak.”

Dari ruangan Mas Suryat terdengar riuh-rendah suara mesin motor yang jumlahnya ratusan. Mas Suryat melongok melalui jendela menyaksikan arak-arakan pengunjuk rasa. Pelantang suara yang ditaruh di atas mobil pick up terdengar suara nyaring sang orator. Isi orasinya diulang-ulang, seperti putaran kaset dari side A ke side B, atawa sebaliknya.

“Memang hidup mereka belum layak ya, No? Bukankah baru kemarin upah buruh naik sampai lebih dari 40 persen?” pancing Mas Suryat lagi.

“Upah segitu mungkin bagi mereka masih kurang. Saban bulan selalu nombok, Pak,” jawab Gino.

“Oke, kelayakan hidup seseorang memang dapat diperdebatkan, karena ukurannya nggak jelas garisnya, tergantung sudut pandang orang yang merasakannya. Saya mau tanya, apa yang sudah kamu peroleh dari perusahaan tempatmu bekerja ini. Upahnya sesuai UMK? Dapat makan? Dapat transport? Jamsostek?” tanya Mas Suryat.

Inggih, Pak! Semua saya dapatkan. Bahkan tanpa babibu bulan lalu dikasih bonus. Alhamdulillah sih“, kata Gino.

“Nah, itu yang penting. Kamu mengucapkan alhamdulillah. Tahu kan arti kata alhamdulillah? Berarti kamu mensyukuri apa yang kamu dapat. Seperti katamu tadi, mensyukuri pekerjaan ini. Sesungguhnya bekerja itu beribadah,” ujar Mas Suryat.

Gino melongo. Semilir angin yang keluar dari penyejuk udara menyapu wajah Gino.

“No, kamu suka lihat anak-anak muda berbaju putih bercelana hitam yang membawa map kumal itu?” tanya Mas Suryat.

“Kalau lihat penampilannya, mereka pemburu pekerjaan, Pak!” jawab Gino.

“Menurutmu gampang nggak cari pekerjaan di zaman sekarang ini?” tanya Mas Suryat.

“Susah banget, Pak. Teman saya saja sudah hampir empat bulan lamaran yang ia kirimkan nggak ada yang nyantol di pabrik”, jawab Gino.

“Nah, menurutmu lagi nih. Berapa banyak orang yang bernasib seperti temanmu itu? Segelintir, puluhan, ratusan atawa ribuan jumlahnya? Dari data yang pernah saya baca lulusan SMA pencari kerja jumlahnya ratusan ribu, berapa yang lulusan SD, SMP atawa sarjana? Mungkin nembus ke angka jutaan. Saya hanya ingin mengatakan, nasibmu jauh lebih baik dari pada mereka. Kamu bekerja dan mendapatkan penghasilan tetap saban bulan”, tutur Mas Suryat panjang lebar.

Gino hanya bisa menganggukkan kepalanya.

“Oke, kamu nggak perlu membandingkan dengan mereka yang nganggur, tapi bandingkan dengan pekerja di bidang sektor jasa. Pramuniaga toko misalnya. Mereka harus tampil cantik, segar dan ramah pada pelanggan. Berapa gaji mereka? Mungkin separoh gajinya habis untuk beli lipstik. Contoh lain, penjaga SPBU, cleaning servis, dan masih banyak lagi tentu saja gaji mereka tak sebesar gajimu. Pun dengan tunjangan-tunjangan yang diberikan di tempatnya bekerja, mungkin nggak ada apa-apanya dibandingkan apa yang kamu terima. Nekjika kamu beranggapan di tempatmu bekerja sekarang ini memberikan upah yang tidak layak, beranikah kamu pindah kerja ke tempat lain yang dapat memberikan gaji yang lebih tinggi? Menurutku, kamu nggak usah repot-repot unjuk rasa, apalagi mendemo perusahaan sendiri, tetapi diam-diam kamu melamar ke perusahaan yang gaji dan fasilitasnya jauh lebih oke!” kata Mas Suryat tanpa jeda.

“Ada teman saya sudah mencoba pindah ke perusahaan lain, Pak. Tapi gagal mulu di tingkat wawancara”, kata Gino cengar-cengir.

“Itu artinya, sumber rejeki temanmu itu masih di perusahaan yang sekarang. Perusahaan itu seperti sawah dan ladangmu, cintai dan rawatlah baik-baik!” Mas Suryat memberikan wejangan mautnya.

Ia tahu, tak semua orang setuju dengan pernyataannya itu. Mungkin termasuk Gino.