Pada zaman dahulu, di P. Jawa bagian tengah terdapat sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang raja muda bernama Pangeran Tejomantri. Ia mempunyai seorang permaisuri yang sangat disayanginya yakni Puteri Maruti. Perkawinan mereka sangat harmonis sehingga menjadi teladan rakyatnya.
Arkian, di sebelah tenggara kerajaan, ada telaga yang airnya berwarna-warni, sangat memesona siapa pun yang memandangnya. Uniknya, telaga tersebut terletak di ketinggian pegunungan sehingga untuk mencapai ke sana harus dilakukan dengan berkuda. Pangeran Tejomantri dan Puteri Maruti senang sekali berkunjung ke sana.
Pada suatu hari, Puteri Maruti minta izin kepada suaminya untuk pergi ke telaga warna-warni tersebut tanpa pengawalan sebab ia ingin menikmati suasana telaga dalam kesendirian. Pangeran Tejomantri tidak serta merta mengizinkan istrinya pergi sendiri namun tetap dengan pengawalan dari jarak jauh.
***
Hari belum beranjak siang ketika Puteri Maruti sampai di telaga. Ia hirup dalam-dalam segarnya udara sekitar telaga sambil memejamkan mata. Damai dan nyaman yang ia rasakan. Puteri Maruti berjalan-jalan di sekitar telaga dan ia mendapati sebuah batu sangat besar. Ia segera menaiki batu tersebut dan betapa takjubnya ia ketika memandang ke arah telaga. Sangat indah pemandangannya.
Kedatangan Puteri Maruti di batu besar tersebut mengusik ketenangan jin penunggu telaga dan ia akan mengusir manusia yang telah berani menginjak-injak rumahnya. Namun, ketika ia menyaksikan kecantikan Puteri Maruti ia urungkan niatnya dan ia punya rencana lain.
Ia malih-rupa menjadi lelaki tampan dan tiba-tiba muncul di hadapan Puteri Maruti. Puteri Maruti sangat terperanjat dan dengan gugup bertanya kepadanya.
“Siapa kamu? Kehadiranmu telah membuatku terkejut!”
“Seharusnya aku yang bertanya kepadamu Puteri. Mengapa kamu datang ke tempat ini tanpa permisi?”
Mata Puteri Maruti menatap lekat-lekat sosok lelaki di hadapannya. Sebuah sikap yang seharusnya tidak ia lakukan.
“Ya, akulah penguasa telaga warna-warni. Siapapun yang datang ke sini mesti atas seizinku. Tapi, untukmu Puteri yang jelita, silakan bersenang-senang di telagaku.”
Demikianlah, percakapan keduanya semakin akrab apalagi jin penunggu telaga sangat mahir dalam menyanjung hati Puteri Maruti.
“Senja sebentar lagi menjadi malam. Aku harus pulang!”
“Wahai puteriku, sabarlah barang sejenak. Malam ini bulan purnama. Saksikan keindahannya!”
“Tapi…”
Puteri Maruti tak kuasa menolak rayuan jin penunggu telaga.
“Dari atas batu ini purnama akan terlihat sangat sempurna memantul di telaga warna. Sinar rembulan akan membikin makin elok paras cantikmu.”
Tangan jin melingkar di pinggang Puteri Maruti. Tubuh mereka saling merapat. Entah siapa yang memulai, mereka saling meremas jemari, mata saling bersitatap, lalu kedua wajah orang yang tengah kasmaran itu saling mendekat. Dan…
Blarrr!!! Sebuah pukulan jarak jauh memisahkan mereka. Keduanya terkejut, apalagi Puteri Maruti sebab yang datang dan melemparkan pukulan jarak jauh itu tak lain Pangeran Tejomantri yang gelisah menunggu kepulangan istrinya. Maka, ia segera menyusul ke telaga dan dilihatnya istrinya tengah bermesraan dengan lelaki lain.
Darah lelakinya bergolak. Ia tantang jin yang malih-rupa jadi manusia itu untuk adu tanding. Pangeran Tejomantri mengeluarkan kesaktiannya. Batu tempat pijakan Puteri Maruti dan jin terbelah, keduanya terperosok di dalamnya.
Puteri Maruti meratap minta ampun kepada suaminya. Ia mengaku khilaf. Pangeran Tejomantri tak bergeming. Ia menahan marah kepada istri yang dikasihinya itu, namun ternyata khianat. Tanpa memperdulikan lagi, Pangeran Tejomantri kembali ke istana dengan hati sangat masygul.
Ratapan Puteri Maruti tak berhenti. Sepanjang malam bahkan lolongan ratapan itu esok harinya masih terdengar dari mulutnya. Ratapan yang terbawa angin, entah terbang ke arah mana.