Namaku Batik Madrim. Jika engkau menyangka aku seorang gadis, itu salah. Memang sih, nama yang disematkan oleh ayahku itu berkonotasi feminin. Madrim adalah nama madu Dewi Kunti. Pandu – ayah para Pandawa – itu beristri dua, Kunti dan Madrim. Dari rahim Kunti lahir Puntadewa, Werkudara dan Janaka, sedangkan Madrim melahirkan kembar Nakula-Sadewa.
Aku lelaki tulen. Usiaku dua puluh tujuh tahun, umur yang cukup matang untuk menikahi seorang perempuan yang kelak menjadi ibu bagi anak-anakku. Tahukah engkau perempuan mana yang aku taksir?
Perempuan itu bernama Setyawati. Kepadaku ia tak bertepuk sebelah tangan. Setyawati yang siang malam aku rindukan, akan memilih pati-geni, mati dengan cara menceburkan diri pada sebuah kobaran api yang panas menyala.
***
Kerajaan Malawapati dipimpin oleh sepasang ksatria pilih tanding, yakni Prabu Anglingdarma dan dipampingi oleh patihnya, Batik Madrim. Dalam memimpin Malawapati keduanya saling menguatkan sehingga tak heran jika Malawapati menjadi negara yang kuat serta kehidupan rakyatnya gemah ripah tata tentrem loh jinawi. Sayangnya, kedua pimpinan Malawapati tersebut sama-sama masih jomblo. Usia mereka tak terpaut jauh, Anglingdarma dua tahun lebih tua dibandingkan Batik Madrim.
***
Sebagai seorang patih seharusnya aku mendahulukan urusan dan keinginan raja daripada kepentingan pribadiku. Tetapi untuk urusan cinta aku tak mau mengalah. Kami mencintai perempuan yang sama: Setyawati!
Cinta itu harus memiliki. Itu prinsipku. Jika engkau mencibir prinsipku berarti engkau belum pernah merasakan kadar cinta level sembilan.
Maka kami memilih melakukan perang tanding, siapa yang menang ia berhak memiliki Setyawati. Kami sama-sama sakti mandraguna. Anglingdarma hampir aku kalahkan setelah perkelahian seru selama tiga hari.
“Apa hak kalian memilikiku dengan cara perkelahian semacam itu?”
Tiba-tiba Setyawati hadir di arena pertempuran kami. Sungguh kami terkejut dengan kedatangannya sehingga serta-merta kami menyudahi perkelahian kami.
“Daripada aku memecah belah kepemimpinan lebih baik aku yang melenyapkan diri dengan cara pati-geni!“
Sepekan kemudian Setyawati melunasi keinginannya. Aku dan Anglingdarma hanya bisa termangu menyaksikan Setyawati yang telah siap menceburkan diri ke dalam nyala api.
Jika engkau saat itu berada di posisiku apa yang akan engkau lakukan, kawan?