Bapak sudah membayar

Tanggal tua seperti ini, uang di dompet tinggal selembar-lembarnya: lima puluh ribuan masih licin, karena terlipat di balik KTP. Maklum, uang cadangan.

Selepas dhuha perut berontak minta diisi barang sepotong tempe atawa pisang goreng. Saya menuju kantin, ambil empat potong gorengan lalu saya nikmati di meja kantin. Baru makan dua potong gorengan tenggorokan terasa seret, saya ambil teh botol.  Tandas. Saya segera menghampiri si mbak kantin dan mengulurkan uang lima puluhan yang masih licin itu.

“Bapak kan sudah bayar, tadi!” kata si mbak kantin menolak uang saya.

“Bagaimana bisa bilang saya sudah bayar? Ini uang masih di saya!” tukas saya.

“Pokoknya, bapak sudah membayar.”

Pagi yang aneh. Siang hari saat istirahat saya keluar kantor untuk makan siang di warung Padang langganan saya. Tanggal tua menu makan siang pun turun kualitasnya. Saya hanya berlauk telur dadar potong dan tempe, dengan kuah ayam yang cukup banyak. Uda Jo, si pemilik warung tersenyum saja ketika saya minta ditambah bumbu rendang.

“Loh, bapak kan sudah bayar. Lupa?” kata Uda Jo ketika saya ulurkan uang lima puluhan saya.

“Hah?? Uda nggak lagi bercanda kan?” tanya saya keheranan.

Dan Uda Jo memang tidak sedang bercanda. Bahkan anak buah Uda Jo bersaksi kalau saya sudah membayar sebelum makan tadi. Kejadian yang aneh, pikir saya.

~oOo~

Saya panasi Kyai SX4 di parkiran sebelum melaju pulang ke rumah. Saya lihat di dashboard ada uang ribuan empat lembar, cukup untuk bayar tol. Tapi saya ingin membayar tol dengan uang lima puluhan yang masih licin yang di pagi dan siang harinya tadi memberikan keajaiban, supaya dapat uang kembalian berupa uang receh.

Menjelang gerbang tol saya siapkan kartu tol dan uang lima puluh ribu licin. Tiba giliran saya membayar tol. Dan memang ajaib, petugas tol memberikan saya potongan struk pembayaran berikut uang lima puluh ribuan punya saya. Lalu, saya ambil uang dua lembar ribuan di dashboard untuk membayar tol.

“Bapak kan sudah bayar. Kenapa bayar lagi?” Ia menolak dua lembar uang ribuan yang saya sodorkan padanya.

“Terima kasih!” jawab saya singkat, sementara pikiran dipenuhi berbagai pertanyaan.

~0Oo~

Saya mampir SPBU untuk maghriban. Sebelum meninggalkan mushola, saya ambil empat lembar uang ribuan lalu saya masukkan ke kotak amal yang ditaruh di lorong dekat tempat wudhu. Ketika saya memakai sepatu, timbul keisengan saya untuk mengisi penuh tangki Kyai SX4 dengan membayar menggunakan uang ajaib saya. Dalam hitungan matematis, lima puluh ribu akan mendapatkan kira-kira 11 liter premium. Oke, saya akan mencoba mengisi 25 liter.

Mas berseragam merah mulai berbasa-basi, “Dimulai dari nol ya pak?” Lalu, premium mengalir ke tangki Kyai SX4. 20, 21, 22, … pas 25 liter. Indikator harga menunjukkan angka Rp 112.500. Dengan sangat pede, saya ulurkan uang lima puluh ribuan yang seharian ini memberikan keajaiban. Saya sangat mengharapkan si mas akan berkata, “Bapak kan sudah bayar!”

“Semuanya seratus dua belas ribu lima ratus rupiah, pak!” kata mas berseragam merah sambil memegang uang lima puluh ribuan saya.

“Tapi… waduh… uang saya kurang mas…,” jawab saya gugup, kedua tangan saya refleks merogoh semua kantong yang ada, siapa tahu ada uang menyelip di sana. Tetapi sia-sia belaka. Keringat dingin mulai mengucur ketika bunyi klakson bersahutan ditingkahi teriakan sopir angkot agar saya segera menyelesaikan transaksi.

Kenapa uang saya tidak ajaib lagi?