Banyu mili

Taman Sari selalu membuat saya takjub ketika memandangnya. Setidaknya kali ketiga saya berada di reruntuhan bangunan sambil menyaksikan Kota Jogja yang terhampar di bawahnya. Eksostisme Taman Sari semakin menjadi-jadi ketika saya berada di lorong bawah tanah. Setengah melamun saya membayangkan bagaimana lorong-lorong ini dibikin di masa lalu.

Tanpa saya sadari, telah berdiri di sebelah saya lelaki bule berhidung mancung.

“Taman Sari ini indah sekali,” puji saya dalam gumaman suara.

“Sayalah arsitek Taman Sari ini, Kyaine!” kata bule tersebut.

Saya terkejut dan menoleh kepadanya. Saya amati dia dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Hmm, prediksi saya, lelaki ini datang dari masa lalu. Oh, bukan. Justru saya yang mendatangi masa lalu. Kira-kira pada tahun 1770.

“Anda tahu nama saya? Lalu, panjenengan ini siapa?” sapa saya.

“Orang Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menyebut saya dengan Demang Tegis. Saya berkebangsaan Portugis, diperintahkan oleh Sinuhun HB I untuk membangun Taman Sari ini,” Ki Demang Tegis mengangguh takzim.

Mata saya menyapu istana yang dikelilingi segaran (danau buatan) dengan wewangian dari aneka bunga-bunga itu. Sangat pas kalau dinamai Taman Sari.

“Taman Sari dibangun untuk menghormati jasa istri-istri Sinuhun karena mereka semua telah membantu selama masa peperangan,” papar Ki Demang tanpa saya minta.

Kami berjalan beriringan. Kami berdiri dekat sekali dengan Gapura Panggung.

“Ki Demang ini arsitek yang mumpuni,” puji saya lagi.

“Kyaine, dari atas Gapura Panggung inilah Sinuhun suka sekali menyaksikan tari-tarian di bawah sana. Lihatlah bangunan di samping itu, di sana tempat para penabuh gamelan. Lalu di tengahnya didirikan panggung tempat para penari menunjukkan kepiawaian dan keluwesan menari,” Ki Demang Tegis menjelaskan kepada saya seperti pemandu wisata.

Kami berjalan ke arah pemandian. Dua orang prajurit menahan kami supaya tidak memasuki kolam pemandian, sebab lokasi tersebut terlarang bagi orang lain, kecuali bagi raja dan keluarganya.

Ndak apa-apa kita ndak masuk ke sana,” hibur Ki Demang kepada saya.

Sepintas saya mengintip kolam pemandian yang sangat asri itu. Lagi-lagi saya mengagumi arsitektur tembok yang berwarna krem yang mengitari kolam pemandian.

Sunyi suasana Taman Sari sungguh menenteramkan jiwa. Apalagi terdengar gemercik air jernihnya.

Gemericiknya semakin terdengar kencang, hingga bunyinya membangunkan tidur saya.

“Alhamdulillah, akhirnya air PAM mengalir juga!” gumam saya mengucap syukur sambil menengok kran depan rumah.

Selepas subuhan tadi, air PAM sudah mengalir meskipun sangat kecil. Menunggu penuh satu ember sedang saja memerlukan setengah jam (menunggunya sampai saya ketiduran dan bermimpi main ke Taman sari). Ndak apa-apa lama menunggu, setidaknya air seember itu bisa buat membasahi badan setelah kemarin ndak mandi.

Wahai, pembaca yang budiman. Sudah hampir 48 jam Kota Karawang tidak teraliri air dari PDAM. Hujan lebat Sabtu siang kemarin telah membenamkan pompa-pompa distribusi air milik PDAM Karawang. Hujan sebentar di Minggu sore betul-betul saya syukuri sebab saya bisa menampung satu-dua ember curahan air hujan yang melewati genteng rumah.