Bahtera Nuh

Aku baru saja terbangun dari lelap tidur malam, ketika terdengar keributan di sekitar rumahku. Bolehlah lubang pohon ini aku sebut sebagai rumah, karena saban hari menjadi tempat tinggal bersama keluarga kecilku. Aku segera beranjak keluar dan aku melihat kerumunan para penghuni hutan.

“Orang yang sedang menebang pohon itu bernama Nuh, utusan Tuhan yang akan menyelamatkan penghuni planet bumi ini,” ujar pak Gajah sambil berbisik.

“Bagaimana engkau tahu, kalau ia utusan Tuhan?” tanyaku menyibak kerumunan binatang yang sedang menyaksikan perilaku Nuh dari kejauhan.

“Aku mendengar kisahnya dari burung Merpati sahabatku,” jawab pak Gajah.

Pak Gajah meminta burung Merpati menceritakan kisah Nuh.

“Ya, Nuh bersama umatnya pindah di sekitar tempat tinggal kita ini untuk membuat bahtera, dengan memanfaatkan pohon-pohon besar dan tua di hutan ini,” burung Merpati mulai bercerita.

Nuh mendapat tugas dari Tuhan untuk kembali ke jalan kebenaran yang telah didakwahkan sebelumnya oleh Adam dan Idris. Umat manusia di zaman Nuh semakin melenceng perilakunya. Kesombongan dan ketidaksyukuran telah meracuni kehidupan mereka.

Jumlah murid Nuh hanya kisaran puluhan orang saja, tak sampai di hitungan seratus. Sangat berat tugas Nuh mengembalikan umat ke jalan-Nya. Selain sombong dan angkuh, umat manusia saat itu banyak yang menyembah berhala, sesembahan karya manusia.

Pada suatu ketika Nuh ingin berdakwah kepada seorang raja yang lalim. Nuh berharap jika raja tersebut mengikuti jalan-Nya, rakyat yang menjadi bawahan akan mengikuti titah rajanya. Namun hanya cemooh belaka yang diterima oleh Nuh dan para muridnya.

Dalam kesedihannya itu Nuh berdoa kepada Tuhan agar mendatangkan azab bagi orang-orang yang tiada patuh berada di jalan-Nya. Doa tersebut dikabulkan lewat mimpi Nuh. 

“Apa sih mimpi, Nuh?” tanyaku kepada burung Merpati.

Burung Merpati menghela nafas. “Nuh bermimpi berada di dasar lautan, di sana ia lihat ada ribuan orang yang mati tenggelam. Ia mendengar bisikan agar mempersiapkan bahtera yang berukuran sangat besar.”

Syahdan, setelah mendapat mimpi tersebut Nuh membawa para muridnya tinggal di tepi hutan untuk bergotong-royong membuat bahtera.

“Kita harus membantu Nuh untuk membawa gelondongan-gelondongan kayu tersebut ke tempat pembuatan bahtera!” usul pak Gajah.

“Atau bagi kita yang berbadan kecil bisa membantu pekerjaan lain,” kataku kepada yang lain.

Maka sejak hari itu kami membantu Nuh membuat bahtera. Hari berganti minggu, bulan berganti tahun dan tanpa kami sadari sudah tahun ke empat puluh kami bekerja keras menyelesaikan bahtera.

Kami melihat Nuh berdiri di buritan bahtera kemudian dengan lantang memanggil kami semua untuk segera naik ke bahtera secara tertib. Ia berkata sebentar lagi akan turun hujan yang sangat deras dan air akan memancar dari dalam bumi.

Benar yang ia katakan. Setelah kami semua naik ke bahtera, hujan turun seperti ditumpahkan dari langit. Bumi seakan bocor, air memancar dari mana-mana. Air bah mengamuk dan bahtera mulai berderak terangkat air yang semakin tinggi.

Bahtera itu berlayar mengarungi gelombang air setinggi gunung. Dalam situasi seperti itu, Nuh masih meminta salah satu anaknya ikut naik ke dalam bahtera, namun ditolak. Dengan angkuhnya, anak Nuh berkata kalau ia akan mencari perlindungan pada gunung yang paling tinggi. Anak yang tersesat jalan.

Aku tidak tahu, berapa lama kami akan berada di atas bahtera Nuh. Namun yang pasti, kami percaya kepada Nuh yang akan membawa kami melalui jalan-Nya.