sudah kubangunkan untukmu
sebuah istana hujan
yang terbuat dari pilar-pilar pualam putih
dan kristal batu
sehingga seribu cermin
bisa memberi tahuku
betapa makin cantiknya kau
berubah bagiku kini
Limbuk teringat buku hariannya, yang pada lembar pertama tertempel sebuah sajak yang berjudul Istana Hujan karya Yvan Goll (1891–1950). Sajak tersebut hadiah dari Bagong, ketika cinta Limbuk dan Bagong sedang mekar-mekarnya.
Bersama simboknya, Limbuk sedang menikmati pesona Candi Arjuna, dengan maksud melupakan sementara kegalauan hatinya akibat kena sindrom CLBK. Hujan di Dataran Tinggi Dieng justru membuat ia makin merindukan Bagong.
Betapa tidak, di bawah rinai hujan saat mereka berpacaran di tepian pantai Anyer, Bagong mengeluarkan contekan sajak Istana Hujan. Kalimat “sehingga seribu cermin bisa memberi tahuku betapa makin cantiknya kau” telah membuat perasaan Limbuk menjura saat itu dan sampai sekarang kalimat indah itu dihapalkannya luar kepala.
“mBok, candi yang sedang dipugar itu namanya apa?”
“O, itu candi Puntadewa, nDuk. Ada apa?”
“Aku lagi membayangkan Mas Bagong sedang membangunkan sebuah istana untukku.”
***
Keringat bercucuran dari tubuh gempal Bagong. Tak kenal lelah, ia aduk pasir dan semen lalu diangkatnya ember per ember. Dengan tekun Bagong menyusun batu-bata menjadi sebuah bentuk bangunan.
Bagong sadar, ia bukan Bandung Bondowoso yang bisa membangun seribu candi hanya satu malam. Namun demi cintanya kepada Limbuk, dengan sekuat tenaga yang ia miliki ia bangun sebuah rumah sederhana yang kelak akan ditempatinya bersama Limbuk. Ia ingin membangun rumah tangga yang sakinah-mawadah-warahmah, membesarkan anak-anak mereka dari rumah sederhana tersebut. Baginya, rumah adalah sebuah istana.
Hari berganti hari, rumah idaman Bagong selesai sudah.
Pagi-pagi benar Bagong menjemput Limbuk untuk diajak melihat istana mereka itu. Limbuk girang bukan main, sebab sebentar lagi ia akan menjadi nyonya Bagong.
“Inilah istana kita, Dik!”
“O, Mas Bagong terima kasih telah mewujudkan impianku mempunyai istana seindah ini.”
“Nanti kamu pengin punya anak berapa, Dik?”
“Dua anak lebih baik, kan, Mas?”
“Ah, itu slogan KB yang diciptakan pemerintah. Kalau sepuluh bagaimana, Dik?”
Limbuk tertawa cekikikan sambil menggelendot di lengan Bagong.
***
“Eh, ngapain kamu tertawa sendiri? Kesambet yang nunggu Candi Arjuna ya?”
Cangik menowel pipi temban milik Limbuk dengan cukup keras. Limbuk tersadar dari lamunannya.
“Mas Bagong…. aku kangen banget…!!!”
Lolongan rindu milik Limbuk ditelan rinai hujan di pelataran kompleks Candi Arjuna Dieng.
Note:
Kisah di atas adalah salah satu bab dalam draft naskah novel wayang slenco yang sedang saya bikin. Judul novel sementara: Cinta Limbuk Belum Kelar. Lagu latar: Negeri di Awan – Katon Bagaskara.