Bacalah dengan nama Tuhanmu


Kini saatnya membaca! Demikian kata hati saya sebulanan yang lalu. Tersebab pada suatu hari Minggu ketika tak ada kegiatan yang menyita waktu saya beberes rak buku yang lama terbengkalai. Dan benar saja, saya mendapati banyak buku yang masih tersegel plastik.

Adalah kebiasaan buruk saya ketika berkunjung ke toko buku membeli beberapa buku dan sampai di rumah ditumpuk saja dengan harapan kapan-kapan akan membaca buku-buku tersebut. Apa daya, prioritas membaca dikalahkan oleh aktivitas produktif yang lain. Bahkan pernah terbersit dalam fikiran kalau buku-buku tersebut akan saya baca dan nikmati kala masa pensiun nanti.

Alih-alih membacanya, menengok rak buku pun menjadi jarang sekali. O lala, ternyata banyak betul buku nganggur, semua karangan penulis favorit saya, tentu saja.

Maka, dengan mengucap bismillah saya mulai membaca buku satu persatu, dan akibatnya melupakan sejenak menulis di The Padeblogan. Setidaknya sudah tujuh buku saya baca hingga tamat.

***

Waktu saya sedang membaca buku Rara Anggraeni karya Damar Shashangka datang empat orang tamu berjaket hitam memasuki halaman rumah saya dengan membawa sekeranjang buah.

“Masih ingat saya, pak?”

“O, yang waktu itu datang malam-malam ya?”

Sepuluh hari menjelang lebaran, ketika saya bersiap berangkat tarawih datang dua pengurus RT yang memberitahukan kalau ada empat orang tamu yang mencari-cari saya sejak dua hari yang lalu. Tak lama, satu orang keluar dari mobil dan menyalami saya. 

Ia yang berasal dari Indonesia Timur langsung menyatakan permohonan maaf karena telah datang ke rumah saya, dan begitu melihat saya ternyata orang yang selama ini ia cari bukan saya. Hanya punya kemiripan nama saja. Dan kebetulan (sekali) juga, orang yang ia cari tersebut pernah tinggal di perumahan yang sebelumnya saya tinggali sebelum saya pindah ke sini.

Mengapa ia mencari orang tersebut? Ini perkara utang-piutang dan ia – dan tiga temannya yang berada di dalam mobil saat datang ke rumah saya – sebagai debt collector kudu berhasil mendapatkan uang pembayaran utang.

Ia mewakili teman-temannya juga meminta maaf kepada pengurus RT sebab telah membuat sedikit keresahan di lingkungan warga.

“Sekeranjang buah ini sebagai bentuk rasa penyesalan kami, pak. Dan orang yang kami cari kemarin sudah ketemu dan hari ini urusannya selesai.”

Mereka pamit.

Saya melanjutkan membaca Rara Anggraeni sambil mengudap pisang.

***

Buku Gadis Tanpa Nama setebal 388 halaman tak begitu lama saya selesaikan. Novel karya Marina Chapman mengisahkan seorang gadis yang bertahan hidup dan tumbuh bersama kawanan monyet di hutan dan kemudian ia berhasil menemukan kembali jati dirinya sebagai manusia. Ia hidup di hutan belantara karena diculik dari rumahnya – di sebuah desa terpencil di pegunungan Kolombia – pada tahun 1954.

Jeda yang terjadi saat membaca Gadis Tanpa Nama, ada seorang kawan yang mengirimkan link foto di atas itu, di inbox email saya. 😉