Ayam saya bertelur emas

Pada suatu hari ketika saya berjalan-jalan pagi, saya menemukan seekor anak ayam yang sekarat sedang terbaring di pinggiran sungai. Anak ayam tersebut saya bawa pulang untuk saya pelihara.

Karena ketelatenan saya dalam merawat ayam tersebut, maka semakin hari semakin waras saja kondisinya. Sayangnya, pertumbuhan badannya tidak seimbang dengan tumbuhnya bulu-bulu di badannya. Ia cenderung brindil, bulunya tunbuh jarang-jarang.

O iya, ayam saya itu berkelamin betina. Saya suka iba melihat kondisinya. Pernah suatu hari ia saya olesi minyak penumbuh rambut, siapanya bisa membantu mempercepat tumbuhnya bulu-bulu di badannya. Ajaib betul, tak sampai sebulan badan ayam betina saya itu telah dipenuhi oleh bulu-bulu yang sangat lebat dengan warna yang sangat elok.

Kalau ia berjalan, rasanya kini ia selalu mendongakkan kepalanya. Bangga betul dengan penampilannya, berbeda sekali ketika ia tak punya bulu, ia selalu menundukkan kepalanya.

Ketika saya leyeh-leyeh di bale bengong, ayam betina saya berteriak kencang sambil berlari menerabas apa yang ada di depannya. Dari arah belakang. rupanya ia dikejar oleh ayam jantan yang gagah perkasa.

Adegan kejar-kejaran dua ayam berbeda kelamin itu memporakporandakan halaman belakang rumah saya. Saya salut dengan perjuangan ayam jantan untuk menaklukkan ayam betina yang ditaksirnya. Seperempat jam berlalu. Ayam betina saya pasrah saja ketika ayam jantan tersebut mematuk ubun-ubunnya lalu mengejan untuk melepas orgasme. Cuma beberapa detik, tak sebanding dengan lamanya perjuangan menangkap ayam betina.

Esok harinya, ayam betina saya masuk ke dalam kandang dan terduduk. Tak lama kemudian ia berkokok sebentar dan berjalan keluar dari kandang. Saya tengok kandang ayam. Saya menemukan sebutir telur berwarna keemasan. Saya timang-timang telur tersebut. Berat. Saya mencoba memecahkan telur itu. Tak bisa.

Ayam saya bertelur emas! Saya menunggu esok dengan tidak sabar. Menunggu ayam betina saya bertelur lagi. Dan betul saja, ia bertelur emas lagi. Begitu seterusnya sampai hari ke tujuh.

Apakah saya akan bertindak rakus, misalnya dengan membedah perut ayam saya untuk mendapatkan banyak telur emas? Tidak, sebab saya yakin dengan membedahnya saya tak bakal menemukan telur emas di dalam perut ayam saya.

Saya hanya berbekal kesabaran dengan menunggu esok hari, dengan harap-harap cemas mendapatkan telur emas lagi. Sungguh saya sedang diuji dalam hal kesabaran menunggu ayam bertelur. Hari ke delapan dan hingga hari ke tiga belas ini ayam betina saya tiada bertelur.

Jangankan telur emas, telur biasa pun tidak ada yang keluar dari perutnya.

Saya mempunyai bank kesabaran. Beda dengan ayam saya yang saban hari duduk di petarangan sambil ngeden, berharap keluar telur dari pantatnya. Saya sampai kasihan melihatnya. Kalau sudah ngeden seperti itu akan keluar air matanya. Saya membujuknya, ndak usah memaksa diri bertelur. Ia bergeming.

Ayam betina saya stress. Bulu-bulu yang biasanya sangat indah kini kusut masai. Tak sempat lagi ia berdandan meskipun sekedar mematuk kutu-kutu yang bersembunyi di balik bulunya.

Menginjak bulan kedua masa bertelurnya, bulu-bulu ayam betina saya rontok. Namun tetap saja tiada telur yang keluar dari perutnya.