Anakku buah hatiku

Pada suatu tengah malam, istriku membangunkanku yang telah terlelap di sampingnya. Ia memberitahu kalau perutnya sangat mulas, mungkin akan segera melahirkan anak pertama kami. Aku panik juga, meskipun beberapa kali telah meyakinkan diri akan bertindak sebagai suami siaga.

Istiku berganti pakaian seperlunya, sementara aku mengeluarkan motor. Setelah semua siap, kami berangkat ke klinik terdekat. Sampai di klinik, istriku langsung ditangani oleh dokter jaga. Suster memintaku menunggu di luar, agar dokter leluasa memeriksa kondisi kehamilan istriku.

Tak lama kemudian, suster keluar lagi dan menemuiku lalu berkata, “Istri bapak sudah bukaan empat. Air ketuban sudah pecah. Dokter segera menangani persalinan. Bapak tunggu di sini saja.”

Keringat dingin mengucur deras dari jidat dan leherku. Air ketuban pecah? Berbahayakah bagi anak dan istriku nantinya? Aku sangat gelisah. Aku terduduk di bangku ruang tunggu sendirian saja. Semua doa aku rapal untuk keselamatan anak dan istriku. Rasanya hanya doa yang bisa aku berikan dalam membantu persalinan bayi pertamaku itu.

Pintu ruang dokter terbuka lagi, suster menghampiriku, “Istri bapak di dalam minta ditemani oleh bapak.”

Aku berjalan terburu-buru. Di dalam ruangan aku melihat istriku terengah-engah menahan sakit. Aku segera menggenggam tangannya untuk menenangkan hatinya.

Dokter memberi aba-aba kepada istri saya supaya mengejan lagi. Aku mengelap keringat istriku yang bercucuran dari wajahnya. Kembali aku ndremimil melafazkan doa keselamatan. Tak tega aku menyaksikan istriku mengalami bukaan kesembilan, yang konon pada tahap ini sakitnya minta ampun karena kepala bayi mulai kelihatan.

Alhamdulillah, akhirnya anakku lahir dengan selamat. Wajah istriku kembali merona, lambang kebahagiaan seorang ibu. Anakku laki-laki, rencananya akan aku namai: Slamet Minulyo.

Belum sempurna kebahagiaanku menjadi seorang ayah, suster mengatakan kepadaku supaya ke bagian administrasi untuk mendapatkan kamar rawat inap untuk istriku. Untunglah aku ini peserta BPJS kesehatan, dengan kartu yang aku miliki semuanya berjalan lancar.

Aku barusan melampaui sebuah peristiwa sakral, sebuah kelahiran anak manusia.

***

Kini Slamet Minulyo sudah berumur selapan atau 35 hari. Sebentar lagi ada bancakan wetonnya sekalian memotong rambutnya. Andai aku punya celengan lebih, pasti akan sekalian aku adakan acara akikah, menyembelih dua ekor kambing.

Pak RT yang aku minta memimpin acara slametan, menyelipkan pasemon yang membuat orang-orang pada tertawa.

“Mas Suryat, waktu prosesi lahiran Slamet Minulyo kok ndak disiarkan langsung di tipi, seperti anaknya Anang-Ashanty. Sampeyan bisa langsung kondang!”

Aku tanggapi dengan tersenyum saja. Padahal kalau produser tipi tahu, prosesi kelahiran Slamet Minulyo lebih dramatis dan punya nilai jual dibandingkan kelahiran anak ketiga Anang tersebut, dibikin semacam reality show yang menjual kemiskinan.

Aku dan istriku adalah seorang buruh pabrik. Tinggal di rumah petak sederhana. Adegan saat aku panik membawa istriku naik motor ke klinik atau adegan di kliniknya sendiri dapat di-hiperbola-kan, mungkin bisa menguras air mata. Kisah kelahiran Slamet Minulyo jelas happy end. Pemerintah bisa juga menyelipkan iklan BPJS Kesehatan.

Di akhir tayangan aku memeluk erat istri dan anakku lalu berkata, “BPJS Kesehatan memudahkan persalinan istri saya!”