Pertemuan Forum Jumat Petang (FJP) kemarin terasa sangat gayeng-regeng. Kyaine yang didapuk jadi sekjen FJP sejak kelahiran FJP tahun 2003 menyebarkan undangan dengan tema silaturahim menjelang puasa. Lumayan banyak peserta yang hadir, beberapa di antaranya membawa teman baru.
Agenda FJP mengalir begitu saja, tak ada acara sambut-menyambut dengan kata-kata sekapur sirih. Ngobrol sak enake. Maunya nyantai, tapi selalu saja ada omongan yang serius seputar operasional pabrik – maklum saja, anggota FPJ memang para mandor perusahaan manufaktur. Unjuk rasa pekerja yang terjadi pada hari-hari belakangan tetap menjadi topik hangat.
~oOo~
Mas Sapto selalu menyelingi dengan humor-humor segarnya. Beliau asli Jombang, termasuk Gusdurian. Semua tertawa lepas mendengar cerita humornya, yang kebetulan memang kisah yang baru, belum pernah muncul di buku-buku humor atawa beredar di media sosial. Lha, saat tertawa belum pada usai, ia melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat sebagian orang mengangkat bahunya.
“Mulai puasa kapan sih rek? Dengar-dengar akan terjadi perbedaan awal puasa. Ada yang bilang tanggal 20, ada yang bilang 21 Juli nanti. Edan, di zaman yang serba canggih seperti ini kok masih ada perbedaan cara penentuan awal bulan,” kata Mas Sapto sambil menyeruput wedang jeruk nipis panas.
“Bukankah perbedaan itu sebagai rahmat toh mas?” sahut Cak Ganis.
“Menurutku sih bukan rahmat, tapi menjurus ke laknat. Ini serius. Misalnya, perbedaan awal puasa Ramadhan antar negara aku masih maklum, tapi di Indonesia satu kota saja bahkan satu RT, bisa berbeda. Bukankah itu laknat namanya….?” Mas Sapto beretorika.
Semua menyimak. Mas Sapto kembali berujar, “Hakekat rukyah dan hisab itu bukan termasuk wilayah ibadah, toh? Pripun Mas Kyaine?”
“Hal itu jangan disakralkan, karena rukyah dan hisab justru untuk mengetahui apakah hilal sudah muncul atau belum. Metode apa pun yang dipakai nekjika masing-masing pihak memahami bahwa tujuan dari rukyah dan hisab adalah sama yaitu hilal. Pasti deh bisa ketemu dan awal puasa bisa bersama-sama,” ujar Mas Kyaine.
“Konon perbedaan penetapan awal Ramadhan maupun 1 Syawal di negeri ini sejak dahulu bukan karena beda metode antara rukyah dan hisab, tapi adu gengsi antara organisasi Islam besar versus Kementerian Agama. Benar nggak sih?” tanya Bang Zain.
Tak ada yang menjawab. Dari beberapa artikel diberitakan kalau pihak satu menerapkan metode horizon bebas, sementara pihak lainnya dengan pemikiran horizon lokal. Dengan metode horizon bebas, hilal sudah diketahui jauh sebelumnya, sementara yang lokal harus menunggu tanggal 29 Sya’ban setiap tahun untuk observasi hilal.
“Mestinya kita berkiblat ke Mekkah. Bukannya Mekkah itu pusatnya bumi? Tak hanya saat shalat, namun awal ramadhan maupun saat penetapan 10 Dzulhijjah misalnya, kita berkiblat ke sana. Piye Ji?” Bang Zain melontarkan pertanyaan lagi, kali ini ia berpaling ke arah Haji Yono.
“Kalau menurutku, semua dikembalikan kepada keyakinan masing-masing. Aku pribadi sependapat dengan Bang Zain tadi. Apalagi ilmu pengetahuan sudah demikian maju dan informasi cepat untuk diakses. Hey, Ris… coba kamu buka internet!” papar Haji Yono.
Aris Sudewo sebagai anggota paling muda yang kebetulan membawa perangkat tablet-pintar segera menuruti sesepuh FJP itu. Tak lama, ia segera membacakan informasi yang ia dapatkan di layar sentuh tablet-pintar miliknya.
“Untuk tahun ini konjungsi matahari dan bulan terjadi pada Kamis 19 Juli 2012 pukul 04.24 UT, 07.24 waktu Mekkah. Kondisi hilal di Indonesia sulit dirukyah karena ketinggian hilal kurang dari 2 derajat (waktu ketinggian hilal 1 derajat pun pernah bisa dirukyah pada 1971 di Indonesia). Hilal sudah ada setelah matahari terbenam dan berumur lebih dari 8 jam setelah konjungsi. Kemungkinan dilihat di Mekkah ada selama sekitar 6 menit setelah matahari terbenam pada pukul 19.05 waktu setempat, lalu hilal tenggelam pada pukul 19.11. Sehingga 1 Ramadhan akan jatuh di tanggal 20 Juli 2012”.
“Lah, kalau sudah jelas begitu untuk apa ya sidang itsbat yang dilakukan di Kementerian Agama?” gumam Cak Ganis.
Pertanyaan Cak Ganis menggantung saja, karena mas-mas pramusaji keburu datang membawa berbagai masakan yang mengundang selera.