Antisisapi

Di Forum Jumat Petang, pada sebuah rumah makan lesehan langganan. Kali ini Cak Husodo menguasi buku menu ketika pelayan rumah makan menghampiri meja kami.

“Menu kali ini jangan pakai daging sapi, ikan saja ya?” celetuk Cak Husodo sambil mendekap buku menu. Kemudian ia menyebut satu per satu menu: sop gurame, cah kangkung polos, nila cobek, tauge ikan asin, tahu-tempe (menu wajib). “Apa lagi nih?” tanyanya lagi.

Haji Yono meletakkan ponsel yang sedari tadi sibuk telpon-telponan dengan kliennya. “Ntar dulu… apa kolesterolmu mundhak to Cak, kok serba ikan?”

“Iya, Cak Husodo. Tumben-tumbenan, biasanya garang asem iga sapi nggak ketinggalan. Lah kok ini jadi antisisapi, sih?” Pakde Sapto berkomentar.

“Begini bapak-bapak yang terhormat,” sergah Cak Husodo, matanya menyapu ke arah kami. “Ini bentuk keprihatinan kita terhadap kebijakan negara, terutama Kementerian Pertanian di bidang peternakan.”

Biyuh…. omonganmu ndakik betul, Cak?” ujar Mas Suryat.

Cak Husodo menghela nafas, sebelum memaparkan pendapatnya ia menyuruh pelayan rumah makan segera menyiapkan pesanan kami. “Ketahanan pangan kita sudah lemah, ini ditambah dengan kelangkaan daging sapi akhir-akhir ini membuat keprihatinan kita sebagai bangsa yang dikenal kaya akan sumber daya alam. Lah… sekarang apa-apa kok langka. Bawang merah-putih, cabe dan tentu saja daging sapi.”

Kami diam.

“Saya kuatir, daging sapi yang disajikan di rumah makan ini merupakan sapi wedok, betina. Saya mendengar anggaran penyelamatan sapi betina disalahgunakan. Kacau sekali kan kalau induk sapi sampai dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Pemotongan sapi betina produktif berada pada taraf membahayakan pengembangan populasi sapi nasional,” papar Cak Ganis.

Mas Suryat membayangkan cucunya nanti tidak sempat melihat bagaimana bentuk sapi karena sapi sudah punah dan untuk melihatnya mesti ke kebun binatang atawa lewat gambar saja. Nanti nekjika induk sapi habis, gantian para pedet yang disembelih. Anak-anak sapi belum sempat akil baliq itu sudah dikonsumsi oleh rakyat kebanyakan.

Cak Husodo mengeluarkan ipet-nya dan menyodorkan kepada kami. Di sana terpampang sebuah berita, dan ada satu paragraf yang membuat jidat kami berkerut.

Seorang jagal bercerita, jika sapi bunting terlanjur digorok, si jagal akan segera membelek perut sapi untuk mengambil anaknya. “Kalau masih hidup, ya dipelihara dulu.” Pedet itu menjadi jatah jagal. Biasanya jagal akan memelihara sekitar setahun. Setelah itu, dijual atawa langsung dipotong.

Mengerikan.