Antara Joko Tingkir dan Joko Widodo

Antara 1505 – 1549:

Joko Tingkir adalah putra Kebo Kenanga yang masih keturunan Majapahit. Desa Pengging – yang dipimpin oleh Ki Ageng Pengging nama lain Kebo Kenanga, menjadi duri bagi Kerajaan Demak Bintoro, sebuah kerajaan baru dengan sistem pemerintahan yang dikendalikan melalui Dewan Wali. Ki Ageng Pengging tak mau tunduk kepada pemerintahan yang dipimpin oleh Raden Patah tersebut, sehingga Dewan Wali memutuskan agar Ki Ageng Pengging dibunuh saja.

Trah Majapahit generasi terakhir ingin kembali merebut kekuasaan Demak, dengan cara menggembleng Joko Tingkir menjadi ksatria pilih tanding yang kelak dapat duduk di puncak kekuasaan. Syahdan, Joko Tingkir berhasil masuk ke jantung kekuasaan Demak dengan cara mengawini anak perempuan Sultan Trenggono, raja Demak ketiga. Tidak serta merta berhasil seperti itu, sebab skenario sudah dirancang dengan cermat.

Tim sukses Joko Tingkir membuat ontran-ontran di alun-alun Keraton Glagahwangi (nama lain Demak) dengan memasukkan tanah merah ke telinga seekor banteng. Tentu saja banteng tersebut ngamuk memporak-porandakan alun-alun dan pendapa keraton. Joko Tingkir muncul di tengah arena, dan berhasil mrantasi kekacauan. Sultan pun terkesima oleh pesona Joko Tingkir, lalu mengangkatnya menjadi lurah prajurit. Karier Joko Tingkir sangat moncer hingga raja Demak itu berkenan menjadikan menantu.

Selanjutnya, Joko Tingkir diangkat menjadi Adipati Pajang, sebuah provinsi yang masuk wilayah kekuasaan Demak. Setelah mangkatnya Trenggono, kekuasaan beralih ke Sunan Prawoto yang buta. Sunan Prawoto tewas terbunuh, selanjutnya  perebutan kekuasaan keturunan Raden Patah (raja pertama Demak) semakin ramai dan hal ini dimanfaatkan dengan cerdik oleh tim sukses Joko Tingkir.

Adalah Ratu Kalinyamat puteri Trenggono yang menjadi Adipati Jepara, ia adipati perempuan yang ditakuti oleh Portugis karena ketegasannya. Sang Ratu tidak terima kalau kekuasaan jatuh ke tangan Haryo Penangsang, maka ia memanggil Joko Tingkir untuk mengenyahkan Haryo Penangsang. Lagi-lagi, dengan strategi dan skenario yang jitu Haryo Penangsang berhasil dibunuh di tepian Bengawan Sore.

Demak kacau-balau. Joko Tingkir cs memanfaatkan situasi ini. Mereka berhasil memengaruhi Dewan Wali untuk menunjuk Joko Tingkir sebagai Plt. Raja Demak. Sungguh, Joko Tingkir tak tanggung-tanggung, sekalian nyebur ke air, maka ia mendeklarasikan diri sebagai Raja Demak dan selanjutnya memindahkan pusat kerajaan ke Pajang sekaligus menghapus Demak menjadi Kerajaan Pajang. Joko Tingkir mengubah namanya menjadi Hadiwijaya, Sultan Pajang.

Tidak jauh dari sekarang:

Joko Widodo, lelaki kurus itu berasal dari Solo yang letaknya hanya sepelemparan sandal dari Pengging. Kedua wilayah ini sama-sama diapit oleh Gunung Lawu dan Merbabu. Karier politik Joko Widodo melesat karena ia mengendarai banteng moncong putih, hingga mendudukkannya di tahta Gubernur DKI.

Kemarin ia mendapatkan mandat dari Megawati Soekarnoputri, perempuan tangguh pemimpin partai yang dikenal dengan PDIP itu, untuk menjadi calon presiden. Ia menyatakan siap mengemban amanah yang berat tersebut.

Perang belum juga dimulai tetapi para pesaingnya sudah mulai keder. Serangan kata-kata pedas ditujukan kepadanya, termasuk dari seseorang yang bergaya mirip Haryo Penangsang: brangasan kalau berbicara, tampak gagah duduk di punggung Kyai Gagak Rimang – kuda kesayangannya – dengan keris terselip di pinggangnya. Entahlah, Haryo Penangsang yang ini akan tumbang dikalahkan oleh lelaki kurus itu atau tidak.

Sementara itu banyak yang berandai-andai secara optimis yang berlebihan. Seakan-akan Joko Widodo betul-betul jadi presiden. Misalnya:

  • Wakil Gubernur otomatis akan menjadi Gubernur. Nekjika demikian, ia harus mempersiapkan siapa yang akan menjadi wakilnya. Serangan ke calon pengganti gubernur tak kalah serunya.
  • Banyak pihak menawarkan diri sebagai wapres.
  • Ada yang kuciwa kenapa jabatan gubernur jadi batu loncatan belaka.

Nggege mangsa perkara kuasa iku saru, ora apik.

Note: Artikel ini menyempurnakan tulisan Jokoting dan Jokowi.