Agustus-6 | Sejoli dari tepi Ngarai Sianok

Haji Agus Salim selalu romantis kepada istrinya hingga sampai usia lanjut. Sebelumnya pernah beristrikan orang Arab.

Ikrar itu tak pernah dikhianati pemuda Haji Agus Salim, 22 tahun. Sebuah janji yang telah ia teguhkan kepada Zainatun Nahar, 12 tahun, sebelum berangkat ke Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah. Waktu itu Salim mewanti-wanti, kelak sepulang dari perantauan, ia akan menikahi gadis tambatan hatinya tersebut.

Ia membuktikannya lima tahun kemudian. Begitu sampai di Tanah Air, Salim langsung mencari Zainatun itu di Koto Gadang. “Sekembali dari Jeddah, Opa benar-benar melaksanakan niatnya,” ujar Maryam Subadio, cucu Agus Salim-Zainatun, dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim.

Zainatun Nahar alias Jaja adalah anak kedelapan Almatsier dan Siti Maryam, adik Sutan Mohammad Salim, ayah Agus Salim. Ya, “Mereka (memang) bersepupu,” kata Siti Asiah Soenharjo alias Bibsy, 84, anak kedelapan Agus Salim-Zainatun.

Seperti layaknya daerah lain di Minangkabau, diKoto Gadang berkembang tradisi perjodohan antarsepupu. Sebenarnya keluarga berencana menikahkan Salim  dengan kakak Zainatun. Namun perempuan itu keburu dinikahkan dengan lelaki lain karena Salim tidak kunjung pulang.

Pulang ke kota kecil itu, Salim cukup populer di kalangan para gadis. Maklum, ia anak orang terpandang, sudah berhaji, dan berpendidikan tinggi pula. Ia juga menguasai tujuh bahasa. Dengan semua itu, lelaki 27 tahun itu pantas menjadi idaman para dara.

Tapi Salim ingin setia pada cinta sejatinya, yaitu Zainatun. Sayang, tak banyak yang tahu hubungan romansa keduanya sebelum perkawinan.

Cerita yang terekam kemudian justru berbagai keputusan Salim yang menerabas adat setempat, di antaranya permintaannya bertemu calon pengantin putri sehari sebelum hari perhelatan. Ini membikin para tetua mengerutkan dahi. Adat tak mengizinkan. Tapi ia benar-benar melakukan itu karena ingin memastikan Zainatun bersedia menikah tanpa paksaan.

Kejutan belum selesai. Itu terjadi saat dilangsungkannya pesta pernikahan dikediaman Almatsier di Pisang, Koto Gadang, pada 12 Agustus 1912. Suasana sungguh meriah. Ada arak-arakan dan tabuhan rebana. Di tengah upacara, tiba-tiba Salim menyerahkan uang kepada Zainatun sebagai bukti tanggung jawab suami ke istri. Hal ini, lagi-lagi, tidak ada di adat Minang.

Berikutnya, mara pulai alias mempelai pria -yang seharusnya diam- tiba-tiba angkat bicara saat musyawarah ninik-mamak. Salim meminta kebebasan menentukan keluarga mana yang harus dikunjungi pengantin. Ia seolah-olah menegaskan Zainatun telah menjadi istrinya, lepas dari status anak-kemenakan ninik-mamak.

Zainatun, saat diwawancarai wartawan Kustiniyati Mochtar pada tahun 1970-an, mengatakan ia ingat betul suasana pesta pernikahannya. Salim mengenakan baju merah menyala dan kuning keemasan serta sorban. Ia sendiri berbaju kurung dengan tilakuang, penutup kepala berbahan beludru bersulam, khas Koto Gadang. “Semuanya tampak indah sekali,” katanya.

Kepada Kustiniyati, yang menuliskan hasil wawancaranya di Seratus Tahun Agus Salim, Zainatun awalnya malu akan kelakuan suaminya yang bertingkah kebarat-baratan, seperti mencium dan menggandeng istrinya depan orang banyak. “Paatje mempraktekkan keinginannya untuk mengangkat kedudukan wanita.” Paatje adalah panggilan anak-anaknya kepada Salim. Zainatun dipanggil Maatje.

Sejatinya, saat menikah, Salim masih berstatus suami orang. Saat di Jeddah, ia mengawini perempuan setempat karena butuh perawat di rumah saat sakit. Perkawinan itu menghasilkan seorang putri, tapi meninggal saat bayi. “Saat itu, keluarga juga diberi tahu,” kata Bibsy.

Nah, beberapa saat setelah pernikahan Salim di Koto Gadang, istri pertamanya datang. Tidak ada yang tahu pasti namanya karena kendala komunikasi. Keluarganya hanya menyebutnya di Juddah, ada kemungkinan mengacu pada tempat asalnya, Jeddah. Saat itu, Salim ingin menceraikannya, tapi ia menolak. “Akhirnya mereka berpisah baik-baik,” ujar Bibsy.

Pemberontakan Agus terhadap adat berlanjut. Ia meninggalkan rumah yang disediakan keluarga Zainatun di Koto Gadang dan pindah ke Jakarta. Zainatun mengatakan itu merupakan langkah suaminya untuk mengajarkan kehidupan yang sebenarnya. Langkah pertama adalah keluara dari lindungan ninik-mamak.

Di Jakarta, lima hari setelah perkawinannya, Salim berhenti dari pekerjaannya di Bureu voor Openbare Warken atawa Dinas Pekerjaan Umum Hindia Belanda karena merasa tak betah. “Bagi orang Koto Gadang saat itu, berhenti dari dinas pemerintah adalah bencana besar,” kata Zainatun. “Kira-kira sama seperti mendengar kematian keluarga.”

Lalu mereka kembali ke Koto Gadang – tempat Salim mendirikan sekolah dasar. Mereka menjalaninya tiga tahun, lalu berpindah lagi ke Jakarta. Mereka hidup berpindah-pindah rumah, dari satu gang ke gang lain. Zainatun tak menyesal hidup pas-pasan. “Opa dan Oma selalu mesra, tidak pernah berpisah,” kata Maryam.

Kunci kemesraan pasangan ini adalah sifat romantis Salim terhadap sang istri. Ia tak segan-segan menunjukkan perasaan kasihnya dalam situasi apa pun. Dalam Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional disebutkan saat menumpang taksi yang menembus malam Jakarta, sekitar 1940, Salim melihat istrinya kedinginan. “Maatje, dinginkah?” Tanpa menunggu jawaban, ia membuka mantel dan menjadikannya penutup kaki Zainatun. Julukan Grand Old Lover pantas ditahbiskan kepadanya.

Sifat romantis itu bahkan suatu saat berujud menjadi pengorbanan. Ini,misalnya, ketika toilet di rumah kontrakan mereka mampet. Saking baunya kakus, Zainatun kerap muntah saban masuk ke sana. Salim lalu memintanya menjauhi toilet dan buang air di sebuah wadah. Ialah yang membuang kotoran istrinya itu.

Salim juga tak segan menjalankan tugas mengasuh anaknya yang masih kecil. Mengganti popok dan membuat susu di malam hari sudah biasa baginya. Salim tak tega membangunkan istrinya yang terlelap karena kelelahan akibat kerja sepanjang siang mengasuh anak.

“Paatje sangat protektif terhadap Maatje,” kata Bibsy. Salim bisa melabrak siapa pun yang ia anggap melukai hati kekasihnya, bahkan jika hal itu dilakukan anak-anaknya sendiri. Sikap Bibsy dan saudara-saudaranya menaikkan nada bicara di hadapan sang Ibu, Salim – yang biasanya lembut – langsung menghardik. “Kalian jangan bicara kasar kepada istriku!”

Keromantisan sejoli itu berlangsung sampai maut memisahkan mereka. Menjelang akhir 1954, di luar kebiasaan, Salim membelikan kado lebih awal untuk istrinya, yang sebenarnya baru berulang tahun pada 16 Desember. Sebelum tanggal bahagia itu, Salim keburu wafat pada 4 November 1954. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Setelah itu, “Oma selalu menaruh peti itu di samping tempat tidurnya,” kata Maryam.

Zainatun menyusul pria terkasihnya itu pada 2 Desember 1977 dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.

Pusara mereka memang terpisah, tapi kedua anak manusia ini telah membuktikan bahwa cinta mereka tak lekang oleh berbagai macam cobaan.

~oOo~

Artikel di atas dikutip dari Majalah Tempo 18 Agustus 2013 Edisi Khusus Kemerdekaan: Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik halaman 98-99. Ia adalah diplomat yang cerdik dan pendebat ulung, santri yang kritis dan ulama moderat. Tapi ia juga pernah kehilangan iman dan susah payah merebutnya kembali hingga menemukan Islam untuk Indonesia: Islam yang tidak terikat adat kebiasaan, tapi dapat menggerakkan bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Berbagai peristiwa yang dialaminya dari masa penjajahan Belanda hingga Indonesia merdeka itu menempanya menjadi Haji Agus Salim.

Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Mesir tak lepas dari tangan dingin Haji Agus Salim. Itulah pengakuan de jure pertama dunia internasional terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Setelah Mesir, sejumlah negara Arab berturut-turut mendukung: Libanon, Suriah, Irak, Arab Saudi dan Yaman. Sukses di Timur Tengah, lelaki yang dijuluki “The Grand Old Man” oleh Sukarno itu melanjutkan aksinya ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di tangan Agus Salim, bayi Republik yang masih belajar merangkak tampil percaya diri: berdiri di panggung dunia dengan tangan mengepal.