Agustus-5 | Misteri angka Proklamasi

Sepeda onthel tua yang saya kayuh dari rumah menuju Tugu Kebulatan Tekad Rengasdengklok, saya istirahatkan di bawah pohon angsana. Perjalanan 45 km cukup melelahkan saya. Tugu ini dibangun untuk mengenang kebulatan tekad pemuda dan pejuang serta tokoh-tokoh bangsa untuk melepaskan diri dari penjajah menuju bangsa yang merdeka dan berdaulat. Saya duduk bersandar padanya untuk menghindari terik matari yang menyengat di musim kemarau Agustus ini.

Ya, di sini pernah terjadi suatu peristiwa yang di dalam pelajaran sejarah disebut dengan Peristiwa Rengasdengklok, peristiwa yang dimulai dari penculikan yang dilakukan oleh sejumlah pemuda seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh dari Menteng 31 terhadap Sukarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30 WIB, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke Rengasdengklok Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Bung Karno dan Bung Hatta serta Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan.

Menghadapi desakan tersebut, Bung Karno dan Bung Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut.

~oOo~

Setelah capek sedikit berkurang saya berjalan mendekati rumah Djiaw Kie Siong. Entah kekuatan apa yang menghentakkan tubuh saya masuk ke rumah tersebut, cepat sekali. Dalam beberapa detik fikiran saya kosong dan begitu mata saya terbuka, saya menyaksikan Bung Karno dan Bung Hatta sedang dikerubungi oleh para pemuda, salah satunya jadi juru bicara. Kalau saya lihat posturnya, pemuda ini bernama Adam Malik.

“Tidak bisa Bung, sore ini proklamasi harus dikumandangkan. Kalau perlu dari depan rumah ini!” Adam Malik berkata kepada Bung Karno dengan berapi-api. Bung Hatta, yang sejak tadi diam akhirnya berkata, “Anak muda, dengarkan dulu apa alasan Bung Karno yang akan mengumandangkan proklamasi besok pagi. Silakan Bung!” Bung Hatta mempersilakan Bung Karno berbicara.

“Baik saudara-saudara, akan saya paparkan alasan saya mengumandangkan proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 besok,” Bung Karno mulai membeberkan alasannya.

Semua diam, termasuk saya. Semua menunggu penjelasan Bung Karno selanjutnya. Saya lihat, Bung Karno mengambil pena dan kertas buram.

“Lihat angka 17 ini,” kata sarjana lulusan ITB itu. “Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat, timing-nya saudara-saudara. Di Saigon dulu, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17.”

“Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, tanggal 16?” sela Sukarni, salah seorang pemuda yang juga menginginkan kemerdekaan secepatnya.

“Saya seorang yang percaya pada mistik dan hitungan primbon. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, tanggal 17 lebih memberi harapan dan saya merasakan di dalam kalbu, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sekarang sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat Legi, Jumat yang manis, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Quran diturunkan tanggal 17, orang Islam shalat seharinya 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” suara Bung Karno menggelegar di ruangan itu.

Saya mengangguk-angguk mengiyakan penjelasan Bung Karno. Mistisisme dalam angka 17 memang luar biasa. Banyak yang percaya 17 merupakan angka pemberian Tuhan yang paling istimewa. Angka ini dibangun dari angka 1 (satu) dan 7 (tujuh) yang menggambarkan banyak hal penting. Angka 1 adalah angka Tuhan itu sendiri, yang menandakan keberadaan ke-Esa-an Tuhan agama-agama samawi. Sementara angka tujuh diistimewakan sehingga Tuhan menciptakan tujuh hari dalam satu putaran pekan dan langit pun dibuat berlapis tujuh. Juga ketika di akherat nanti, di sana akan dijumpai jembatan menuju surga yang besar dan lebarnya serambut dibelah tujuh, hanya orang beriman saja yang bisa melewati jembatan itu. Bahkan orang pusing pun disebut dengan pusing tujuh keliling!

Tanpa saya duga sebelumnya, Bung Karno menoleh ke arah saya dan berkata, “Hai Bung yang seumuran dengan saya, yang juga punya nama Sukarno!”

Saya menunjuk diri, sambil mengangguk pelan.

“Ya, kamu Bung! You kan yang suka iseng main primbon angka-angka di blog milik you? Coba terangkan apa istimewanya tanggal 17 Agustus 1945 ini!”

Kalau Bung Karno telah memberikan perintahnya, siapa yang berani menolaknya?

Saya kaget dan dalam kemampatan fikiran saya coba utak-atik angka Proklamasi 1781945.

Dan inilah hasilnya :

17 + 8 = (1 X 9 – 4) X 5
1 X 7 – 8 = 19 – (4 X 5)
1 + 7 – 8 = 1 X 9 – (4 + 5)
17 – 8 = 4 + 5
1 X 7 – 8 = 4 – 5

Ada lagi :

1 X 7 X 8 X 4 X 5 = 1120 dibalik 0211, kurangkan 1120 – 0211 = 0909 dibalik 9090, lalu jumlahkan 0909 + 9090 = 9999 (sembilan kembar empat)

Semua orang yang ada di ruangan itu bertepuk tangan, termasuk Bung Karno. Semakin keras saja tepukan tangan mereka, memekakkan gendang telinga saya. Tidak kuat, saya tutupi kedua telinga, saya pejamkan mata untuk menghalau rasa sakitnya.

~oOo~

Saya terbangun, ternyata sedang terbaring di salah satu kamar rumah sakit Proklamasi Rengasdengklok Karawang. Kata dokter, saya semaput karena kelaparan!