Pada tanggal 8 Agustus 1945, Marsekal Terauchi – Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara – memanggil Sukarno ke mabes-nya di luar kota Saigon yang sebelumnya tanpa memberitahukan maksud pemanggilan itu. Pesawat yang membawa Sukarno penuh sesak. Mereka berangkat jam 5 pagi secara rahasia.
Bung Karno gugup sebab merasakan sesuatu yang penting akan terjadi. Udara sepanjang perjalanan sudah dikuasai oleh Tentara Sekutu yang pesawatnya berkeliaran dengan misi utama menangkap Sukarno.
Saat itu Bung Karno tengah sakit, maka ia mengajak Suharto dokter pribadinya ikut serta di dalam pesawat tersebut.
“Tuan tidak termasuk di dalam pimpinan tertinggi dari rakyat Indonesia. Perjalanan ini adalah tugas penting. Tuan nggak boleh ikut!” tegur seorang Kolonel dari Jepang kepada Suharto.
“Saya dokter pribadi Bung Karno dan kebetulan saat ini Bung Karno sedang sakit,” tukas Suharto.
Kolonel tersebut menatap tajam kepada Suharto dan hal itu membuat Bung Karno was-was. “Kami cukup dokter untuk perjalanan ini!”
Maka Suharto ingat pesan Bung Karno sebelumnya kalau tugasnya menjadi badut. Suharto orang kepercayaan Bung Karno itu pandai bahasa Jepang sedikit-sedikit. Ia diminta Bung Karno menyanyikan lagu-lagu Jepang yang brengsek yang dipelajari dari pasien-pasiennya, juga berjoget di depan Miyoshi – juru bicara delegasi Jepang – tujuannya untuk mengorek sebanyak mungkin informasi dan rahasia kenapa Bung Karno dipanggil ke Saigon.
Suharto mulai membadut, kemudian Kolonel itu kembali ke tempat duduknya dan melaporkan ke atasannya. “Nggak perlu curiga, ia hanya seorang pelawak,” jawab sang atasan.
Singkat cerita mereka sampai di Saigon dan diterima oleh Marsekal Terauchi. “Sekarang terserah kepada Sukarno-san. Pemerintah Dai Nippon menyerahkan proses kemerdekaan rakyat Indonesia kepada Sukarno-san,” katanya kepada Bung Karno.
Syahdan, rombongan delegasi Indonesia itu pun kembali ke Jakarta. Mereka tak lagi dikawal oleh militer Jepang, hanya diantar oleh seorang penerbang.
Dalam perjalanan pulang itu Bung Karno menyampaikan buah pikirannya kepada Hatta. “Hukum internasional hanya menentukan empat syarat untuk bisa diakui sebagai negara merdeka. Pertama, kenyataan adanya tanah air. Kedua, adanya rakyat. Ketiga, adanya pemerintahan, sedang keempat adanya suatu bangsa lain yang mau memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan itu,” papar Bung Karno. “Modal kita sudah ada dua, kita bisa saja membikin pemerintahan,” lanjutnya.
“Ya!” jawab Hatta singkat.
Mereka tak lagi naik pesawat penumpang yang enak, sebab pesawat yang mereka naiki itu pesawat pembom yang sudah uzur, ringsek, dan banyak lubang bekas peluru. Tidak ada tempat duduk, tidak ada pengatur suhu dan tak ada kakus.
Bung Karno berbisik kepada Suharto, “Aku mau kencing, bagaimana caranya ya?”
Suharto menyapukan pandangan dan mengangkat bahu, lalu berkata, “Tak ada tempat untuk kencing. Tak ada jalan lain, Bung terpaksa nongkrong di sana!”
Bung Karno melangkah dengan diam-diam ke bagian belakang pesawat dan melepaskan hajatnya. Baru saja ia kencing, angin kencang bertiup melalui lubang-lubang peluru dan menerbangkan air kencing itu memenuhi ruang pesawat. Rombongan Bung Karno terpaksa bermandikan air kencingnya.
Dalam keadaan setengah basah itulah, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia tiba di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1945.
[Disadur secara bebas dari buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia – Cindy Adams]