Agustus adalah bulan Proklamasi RI. Saya akan mengawali mengenang Proklamasi RI tahun 1945 tersebut dengan membagi tulisan tentang sebuah novel yang berlatar belakang suasana masa awal kemerdekaan Republik ini. Novel itu berjudul Tak Ada Nasi Lain, karya Pak Suparto Brata (kini, 81 tahun), yang saya temukan di Solo pertengahan Juni lalu.
Adalah Saptono, seorang anak lelaki asal Sragen yang dititipkan ibunya pada sebuah keluarga ningrat yang masih terhitung buliknya di daerah Gajahan (barat Alun-Alun Kidul Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat). Ia hidup bersama dengan para saudara sepupunya, dengan melalui kehidupan zaman Hindia Belanda, transisi pendudukan Jepang, kemerdekaan Indonesia, hingga awal tahun 1960-an. Pak Suparto Brata sangat detil menceritakan suasana Kota Solo di masa lalu di mana Saptono menjalani kehidupannya di kota itu. Tak Ada Nasi Lain seperti biografi penulisnya.
Bagi saya yang lahir jauh setelah Indonesia merdeka, detil di novel tersebut memberikan pengetahuan yang sangat berarti secara tempat-tempat yang disebutkan dalam novel tersebut kaki saya pernah menginjaknya. Gaya reportase Pak Suparto Brata seakan melengkapi cerita Bapak saya seputaran Solo di zaman penjajahan Jepang.
Zaman pendudukan Jepang: orang tak boleh menyalakan lampu yang tembus keluar rumahnya; bisa menyantap nasi sudah untung; pakaian yang ada cuma yang tertempel di badan; dan sebagainya serba memprihatinkan. Lalu terjadi euforia ketika Jepang takluk. Sukarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan RI disambut gempita oleh masyarakat Solo. Lalu mereka berbondong-bondong mengirim laskar ke Surabaya ketika tentara sekutu menyerang kota tersebut. Sekat ningrat runtuh ketika muncul sebutan Bung, misalnya sebelumnya dipanggil dengan Den Wiro, berubah menjadi Bung Wiro.
Ada yang istimewa dari Tak Ada Nasi Lain. Novel ini merupakan novel pertama yang ditulis oleh Pak Suparto Brata, pada tahun 1958 dan baru terbit dalam bentuk buku di tahun 2013, lebih dari 50 tahun! Novel ini pernah terbit dalam cerita bersambung di Kompas. Perjalanan nasib Tak Ada Nasi Lain bisa dibaca di sini.
Sesungguhnya, novel-novel Pak Suparto Brata banyak yang berlatar belakang sejarah bangsa. Sebut saja misalnya Trilogi Gadis Tangsi, Saksi Mata, Mencari Sarang Angin atawa Republik Jungkir Balik. Saya banyak belajar sejarah bangsa ini dari membaca novel-novel pak Suparto Brata.
Dalam setiap kepenulisan novel-novelnya, saya mengamati kalau Pak Suparto Brata selalu menyelipkan pesan yang sangat bagus yakni pentingnya membaca dan menulis. Tak heran, di usia yang sudah sepuh seperti itu Pak Suparto Brata masih aktif menulis.
Novel Tak Ada Nasi Lain diterbitkan oleh Penerbit Kompas (Juni 2013) setebal 560 halaman.