Rama telah mengalahkan Rahwana, kini saatnya menjemput Sitta istri tercintanya. Rama mengutus Hanoman sebagai duta untuk menjemput Sitta. Betapa bahagianya Sitta, setelah sekian lama diculik oleh Rahwana dia seperti berkabung saja, benar-benar tidak memperhatikan penampilannya. Baju yang dia pakai compang-camping dan lusuh. Cinta dan rindu yang demikian menyesakkan dadanya ingin segera dia tumpahkan kepada lelaki belahan jiwanya. Tetapi Hanoman minta kepada Sitta untuk berganti baju dan berdandan sebelum datang ke hadapan Rama.
Kerumuman orang berdesakan di sekeliling Rama untuk menyaksikan pertemuan suami-istri itu. Dengan tidak sabar, setelah berbulan-bulan kesepian dan menderita, Sitta diterima oleh Rama di hadapan begitu banyak orang. Dia sangat canggung, namun menerima keadaan itu dengan begitu pasrah.
Telinga Rama yang peka mendengar bisik-bisik orang di sekitarnya, apakah Sitta yang sekarang ini masih suci dan setia kepada cinta Rama, setelah sekian lama dalam cengkeraman Rahwana. Lelaki memang sering dibutakan oleh nafsunya, Rama terpengaruh bisik-bisik tersebut. Rama menjadi murung dan segera menarik diri ketika Sitta menyungkur di kaki Rama untuk menumpahkan rindunya selama ini. Saat itu cemburu sedang membakar habis hati Rama, tiba-tiba dia berkata, “Tugasku tuntas sudah, membebaskanmu dari cengkeraman Rahwana. Aku sudah memenuhi misiku. Semua upaya ini bukan untuk menyatukan cinta kita melainkan untuk mempertahankan kehormatan negeri yang aku pimpin. Setelah ini, perlu aku katakan padamu, Sitta, bahwa tidak lazim bagi seorang pria mengakui kembali seorang istri yang sudah tinggal sendirian dalam rumah seorang asing. Kita tidak mungkin bersama lagi. Aku izinkan kamu pergi sesuka hatimu, ke mana saja aku tidak menghalangimu”
Mendengar itu semua, perasaan Sitta bagai disambar geledek, air matanya tumpah, “Kamu meragukan kesetiaanku rupanya. Kukira dengan kemenanganmu mengalahkan Rahwana masalah kita akan berakhir. Kalau begitu aku pasrah akan keputusanmu”.
Rama menengok kepada adiknya, Laksmana, dan berkata, “Nyalakan api segera, tepat di sini!”. Nafsu Rama telah mengalahkan segala-galanya dan sorak sorai manusia membahana di depan tumpukan kayu bakar yang nyalanya telah menjilat ke udara yang tinggi. Rama harus menjadikan Sitta menjadi bahan pertaruhan dengan egonya. Laksmana, yang selamanya merupakan punggawa yang paling tidak banyak bertanya, tidak bisa mencegah niat kakaknya, untuk membuktikan cinta Sitta kepadanya. Jika Sitta tidak terbakar api, berarti dia masih suci sebaliknya jika terbakar berarti ia telah tidak setia kepadanya dan sudah selayaknya mati menjadi abu.
Sitta mendekati api yang berkobar itu, menyorongkan tubuh mendekati kobaran api yang panasnya seperti cemburu Rama dan berkata, “Oh, Agni, dewa api yang agung, jadilah saksiku hari ini”. Sitta pun melompat ke dalam api. Di tengah nyala api itu muncullah Agni sambil menggendong Sitta dan menyerahkan kepada Rama. Sitta selamat dan Ramapun bersuka-cita menyambutnya.
Ketika Rama akan menggendong Sitta, dari tangan Sitta jatuh sebuah benda berbentuk lempengan logam keemasan. Rama mengambil benda itu dan diamatinya, di lempengan itu terukir angka 1301. Jidat Rama berkerut, diambilnya sesuatu dari lipatan ikat pinggangnya, sama persis lempengan logam keemasan terukir angka 1301. Kemudian dia berkata kepada istrinya, “Sitta, bagaimana kamu mendapatkan benda seperti yang aku punya?”
Sitta pun bercerita, selama diculik oleh Rahwana dia bersedih luar biasa. Dia lepaskan semua perhiasannya, dileburnya dengan kekuatan cinta kepada Rama. Jadilah sebuah lempengan emas. Air mata yang menetes membasahi lempengan dan membentuk ukiran angka 1301. Sudah 130 hari memendam rindu, hanya untuk 1 cinta Rama,
Rama pun bercerita yang sama, tiap malam dia gelisah memikirkan dan merindukan Sitta. Tiada bisa mereka saling bertukar berita, tidak seperti dulu lagi meskipun Rama sibuk dengan tugas kenegaraan, satu jam sekali mereka bertukar kabar, saling mengirim cinta dan rindu-rindu mereka.
Rama dan Sitta pun berpelukan erat, Sitta membisikkan kata-kata ke telinga Rama, “Sungguh menyedihkan cinta dan kepercayaanku padamu hanya kamu hargai sebesar nyala api, sementara apa yang kumiliki melebihi dari magma gunung Mahameru”. Semakin erat saja pelukan Rama, “Aku begitu cemburu padamu. Tapi kamu tahu kan, betapa aku begitu merindukanmu, cintaku” bisik Rama ke telinga Sitta.
Cinta sejati itu telah menyatu kembali.