Warung bertirai

Puasa ramadhan sudah berlangsung lima hari. Pada hari pertama dulu, pas perjalanan ke kantor, sepanjang jalan relatif sepi. Warung-warung belum pada buka, baik kelontong maupun yang menjual makanan. Ditambah anak-anak sekolah libur 2 hari awal puasa, lengkap sudah kelengangan jalan, sehingga perjalanan sangat lancar.

Hari kedua, saat tugas keluar kantor, situasi sudah mendekati normal. Cuma ada yang membedakan, masih banyak warung makan yang buka, tetapi malu-malu, karena pintu dan jendela ditutup dengan tirai. Aneka kain dimanfaatkan untuk tirai: bekas spanduk, jarik/kain kebaya, atawa kain perca warna-warni.

Di beberapa warung, gorden terasa cupêt/kekecilan, sehingga meskipun sudah ditutupi tirai, kaki-kaki para pelanggan warung masih kelihatan.

Hari ini, beberapa warung sudah terang-terangan buka di siang hari. Tirai sudah dilepaskan. Jadi, jika ada para pepuasa yang lewat di depan warung itu akan dapat menyaksikan orang pada makan, minum atawa menghisap rokok.

Tentu saja, warung tersebut tak bermaksud mempengaruhi seseorang untuk tidak puasa atawa membatalkan puasanya. Mereka cuma ingin meraup rejeki di hari itu.

Mari tengok masjid kita. Di malam pertama tarawih, jamaah membludak hingga ke halaman masjid, bahkan ada yang rela shalat di jalan dengan menggelar sajadahnya. Malam kedua, yang shalat di jalan sudah tidak ada. Malam ketiga, halaman masjid terbebas dari jamaah, karena semua bisa ditampung di dalam masjid. Dan, seperti tahun-tahun yang lalu, (biasanya) shaf masjid akan semakin maju seiring dengan semakin tua tanggal ramadhan.

Kondisi itu berbanding terbalik dengan pusat perbelanjaan. Semakin mendekati lebaran, semakin ramai pengunjung. Apalagi jika THR sudah dibagikan. Dunia rasanya besok mau kiamat, sehingga mereka berbondong-bondong memborong kebutuhan lebaran, takut nggak kebagian jatah.

Inilah kondisi nyata sebuah negeri yang sebagian besar KTP penduduknya tertulis beragama Islam.

Siapa yang buntung, siapa yang untung, dan siapa yang kecipratan berkah ramadhan?