Wabah di Kahuripan

Prabu Erlangga judeg pikirannya. Tumenggung Trawang seorang pejabat tertinggi di Ketemenggungan Kasarasan Kerajaan Kahuripan saban hari mesti melaporkan perkembangan penanganan wabah yang terjadi di wilayah Kahuripan. Tumenggung Trawang mencatat, jumlah rakyat yang mati akibat wabah sudah hampir mencapai angka selaksa nyawa. Bagaimana Prabu Erlangga tidak pusing, segala upaya sudah dilakukan namun wabah belum juga sirna.

“Tumenggung, sudah ketemu belum asal muasal sumber wabah tersebut?” tanya Prabu Erlangga kepada Tumenggung Trawang.

“Dari hasil investigasi tim kami, sumber wabah berasal dari Desa Jirah,” jawab Tumenggung Trawang dengan yakin.

“Di mana itu persisnya?” ujar Prabu Erlangga sambil menunjuk sebuah peta yang tertempel di dinding.

***

Desa Jirah terletak di sebelah timur Kali Brantas, berjarak sehari-semalam dari ibukota Kahuripan dengan mengendarai kuda. Sebuah desa yang asri dengan lahan pertanian yang subur. Syahdan, di antara puluhan penduduk yang berdiam di sana, tinggal pula seorang perawan jelita yang bernama Retna Manggali bersama ibunya, orang-orang mengenal namanya dengan Calon Arang. Malah beberapa kalangan memberikan julukan kepadanya sebagai Janda dari Jirah, dengan bernada sinis. Entah apa maksud orang-orang memanggilnya demikian, apa salahnya ia menjadi seorang janda? Toh, bukan keinginannya kalau ia ditinggal mati oleh suaminya.

Senja hampir menabrak malam. Pintu bilik Retna Manggali masih tertutup rapat. Dari luar bilik terdengar sedu-sedan tangis perawan Desa Jirah yang mengurung diri sejak ia pulang mencuci pakaiannya di sungai pinggir desa. Beberapa kali ibunya mengetuk pintu, alih-alih mendapatkan jawaban dari anaknya, Retna Manggali semakin keras tangisnya. Perempuan setengah tua yang wajahnya masih menyisakan banyak kecantikan itu menghela nafas. Ada apa dengan anak perempuanku?

Ia pergi ke dapur untuk memanasi sup ayam kesukaan Retna Manggali. Dengan lembut kembali ia memanggil anak gadisnya. Retna Manggali luluh hati, keluar bilik dengan mata sembab. Begitu melihat ibunya, ia memeluk erat dengan masih tersedu.

“Buk, orang-orang desa merisak dan nyinyir kepadaku dengan sebutan perawan tua, perawan yang tak laku-laku. Tak ada orang yang mau melamarku karena aku anaknya Calon Arang Janda dari Jirah!” Retna Manggali menumpahkan isi hatinya.

“Diamlah, Nduk. Ibuk akan membalaskan luka hatimu. Sekarang kita makan malam dulu. Ibuk sudah menyiapkan sup ayam kesukaanmu,” hibur Calon Arang.

Retna Manggali tak tahu, betapa bergolaknya hati Calon Arang menerima penghinaan semacam itu. Aku tak peduli orang-orang menjuluki diriku dengan Janda dari Jirah. Tapi kalau mereka sudah mencemooh anakku sebagai perawan tua, perawan yang tak laku-laku, aku tidak akan tinggal diam.

Selesai makan malam, Calon Arang bersemedi di sanggar pamujan yang tak begitu luas.

Malam itu udara Desa Jirah terasa berbeda. Kabut menyelimuti pandangan mata. Nun di atas langit terlihat lintang kemukus berpendar. Bagi orang waskita, semua itu pertanda bakal terjadi bencana di Kerajaan Kahuripan.

Suasana mencekam sangat terasa di Desa Jirah. Penduduk desa gelisah luar biasa. Gonggongan anjing hutan, kicauan burung bence dan kepakan kelelawar menambah tintrim suasana malam itu.

Calon Arang berada dalam puncak marah. Ia melampiaskan kemarahannya dengan menyebar wabah penyakit. Siapa menyentuh siapa, keduanya akan didahului dengan sakit setelah itu meregang nyawa. Pagi sakit, sore mati atau sebaliknya.

Bunyi kentongan titir bertalu-talu, sebagai tanda untuk mengabarkan ke khalayak kalau ada pralaya. Tak hanya satu orang yang mati, tapi saling menyusul. Belum selesai mengurusi satu mayat, di rumah yang lain terdengar tangis memilukan meratapi sanak-kadang yang mati mendadak.

Hari pun berganti. Pageblug itu tak hanya terjadi di Desa Jirah, bahkan mulai merembet ke desa dan perkampungan yang lain dan lama-lama separuh wilayah Kerajaan Kahuripan terkena wabah penyakit yang tak seorang pun tahu apa penyebabnya.

Calon Arang tidak mengira kalau dampak kemarahannya demikian dahsyat.

***

“Tumenggung, tolong panggilkan Empu Baradah ke sini. Sepertinya hanya dia yang mampu menyelesaikan masalah ini,” Prabu Erlangga memberikan titahnya.

Tak lama kemudian Empu Baradah sudah menghadap Prabu Erlangga. Setelah berdiskusi, Empu Baradah memberikan usul.

“Untuk wilayah Kahuripan yang sudah terdampak wabah di-lockdown saja Gusti,” kata Empu Baradah.

Lockdown bagaimana maksudnya, Empu?” Prabu Erlangga penasaran. Dan Empu Baradah pun menjelaskan cara me-lockdown wilayah Kahuripan. Prabu Erlangga setuju dengan rencana Empu Baradah.

Sesuai usul Empu Baradah, Prabu Erlangga memerintahkan semua prajurit kerajaaan dan dibantu rakyat yang masih sehat bergotong-royong membuat  beberapa sodetan Kali Brantas yang cukup lebar. Dengan adanya sungai baru tersebut, wilayah yang terkena wabah akan terisolir dan wabah tidak bisa menyeberang ke wilayah lain.

Tumenggung Trawang juga melakukan sosialisasi ke seluruh pelosok negeri agar setiap orang menjaga jarak dengan yang lain, jangan bersentuhan. Belakangan diketahui, wabah tertular karena sentuhan.

Rakyat patuh pada aturan tersebut. Dalam waktu yang tidak lama, wabah mereda dan tidak ada orang yang mati lagi gara-gara wabah penyakit tersebut.

***

Pada suatu siang, Empu Baradah mendatangi rumah Calon Arang. Tujuannya meminang Retna Manggali untuk dijadikan istri bagi murid kesayangannya, Jaka Bahula.

“Arang, aku datang ke sini untuk meminang anak gadismu yang akan aku jodohkan dengan muridku. Apakah kamu setuju?” tanya Empu Baradah ketika sampai di rumah janda Jirah itu.

“Sebentar, Baradah. Aku curiga dengan niatmu meminang anak gadisku. Kamu pasti akan mencuri ilmuku dan membunuhku, bukan?” Mata Calon Arang nanar menatap Empu Baradah, dan melanjutkan bicara, “Aku rela kehilangan ilmu dan mati di tanganmu, tapi jangan karena hal ini kamu ingin mengawinkan anakku dengan muridmu”.

“Sabar dulu dong?!” goda Empu Baradah, lalu berkata, “Memang aku akui, rencanaku mengawinkan Retna Manggali dengan Jaka Bahula supaya kamu tidak lagi menyebar wabah penyakit kepada orang-orang tidak berdosa. Aku tidak akan mengambil kesaktianmu!”

“Benar, cuma itu alasanmu? Kamu punya bukti kalau aku yang menyebarkan wabah penyakit?” tanya Calon Arang.

Empu Baradah nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Akhir bahagia dari dongeng ini adalah Jaka Bahula resmi menjadi menantu Calon Arang. Sebelas bulan berikutnya Calon Arang mendapatkan cucu laki-laki. Hati Calon Arang senang bukan main. Pagi sampai sore waktunya habis untuk mengasuh cucu kesayangannya itu.