Titipan Umar Kayam

Pantas saja burung prenjak yang nangkring di pohon sawo di depan Padeblogan ngoceh tiada henti sejak pagi. Rupanya itu pertanda bahwa siang harinya Padeblogan kerawuhan tamu agung, Pak Ageng a.k.a Umar Kayam. Waduh, mimpi apa semalam kok Pak Umar Kayam kersa rawuh, sementara sekalipun saya belum pernah sowan ke nDalem Keagengan Pusat di Yogyakarta, atawa cabangnya di Jakarta.

Di pendapa saya terima kunjungan Pak Umar Kayam yang datang sendirian, tanpa Mister Rigen. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk menggali lebih banyak ilmu dari Pak Umar Kayam (UK) yang Guru Besar UGM, tempat saya ngangsu kawruh dulu.

Saya : Pak Kayam, mbok diceritakan sedikit mengenai lakon pewayangan Babat Alas Wanamarta yang pernah Pak Kayam tulis di tahun 1979.

UK : Babat Alas Wanamarta adalah lakon wayang yang populer di Jawa. Pada berbagai selamatan pindah rumah, pindah desa, dan bedol desa lakon ini adalah lakon yang dianggap cocok untuk dipertunjukkan pada malam harinya. Bahkan dulu pada zaman kolinial lakon ini adalah semacam “lakon wajib” pada proyek “kolonisasi” – istilah untuk transmigrasi pada waktu itu. Saya pernah pula menyaksikan lakon ini dimainkan pada satu pesat gedung sekolah dan pindah gedung kantor.

Saya : Lakon tersebut pastilah bukan lakon sebiasa Sembadra Larung, nggih Pak? Saya suka lakon ini karena itu satu lakon percintaan yang seru.

UK : Bila kita kaji lakon Babat Alas Wanamarta ini, ia mengisyaratkan kepada kita konsep orang Jawa tentang “membangun”. Yakni, memulai semua dari depan serta menghadapi yang akan dibangun itu sebagai sesuatu yang besar, angker dan rumit. Maka rumah, sekolah, kantor dan desa yang baru dibayangkan sebagai satu hutan, alas, yang besar yang baru ditaklukkan. Ini mungkin erat sekali hubungannya dengan kebiasaan pada orang Jawa dahulu sekali, pada waktu pulau yang dihuninya masih lebat dengan hutan dan penduduknya masih sedikit, untuk membangun apa saja dengan membuka hutan.

Saya : Dulu, waktu masih sekolah di UGM, saya pernah mendengar cerita teman yang dari Fakultas Sastra, katanya Pak Kayam bertanya kepada para mahasiswa mengenai nama lengkap pembantu di rumah. Pripun to Pak, duduk perkaranya?

UK : Hag..hag..hag… Ya..ya… saya ingat. Waktu itu, ruang kuliah tiba-tiba senyap. Tak satu pun mahasiswa yang mengikuti kuliah perubahan social dan budaya itu mengacungkan tangan. Saya – yang berdiri di depan kelas, mengulang pertanyaan: siapa nama lengkap pembantu di rumah masing-masing, dari mana mereka berasal, dan kenapa mereka menjadi pembantu. Tidak ada yang mengacungkan tangannya. Mungkin, para mahasiswa itu kaget mendapat pertanyaan yang tak mereka duga sama sekali, padahal bahan jawaban itu pada umumnya mereka akrabi sehari-harinya. Mereka tak menduga bahwa persoalan social dan budaya bisa “sedekat” itu.

Saya : Tapi saya kenal baik dengan para asisten nDalem Keagengan loh Pak, siapa lagi kalau bukan Mister Rigen dan nyonya, beserta dua anaknya Beni dan Tolo-tolo.

UK : Sampeyan suka baca buku seri Mangan Ora Mangan Kumpul ya…

HP Pak Kayam berdering, beliau menjawab panggilan. Tak lama kemudian Pak Kayam pamit.

~oOo~

Artikel di atas adalah dialog imajinatif saya dengan UK. Jawaban-jawaban UK murni jawaban UK yang saya kutip dari buku Titipan Umar Kayam – Sekumpulan Kolom di Majalah Tempo yang diterbitkan oleh PT Pustaka Utama Grafiti (2008), sebuah buku lama tetapi sampai kini masih enak untuk dibaca. Kolom UK bisa mengambil contoh cerita wayang, atau bisa juga mengejek perilaku karikatural yang ditemukannya. Ia ingin melihat perubahan, sehingga ia mengajak bangsanya menjelajahi cakrawala yang tanpa batas. Ia tak ingin satu pun yang dikorbankan, apalagi wong cilik yang selalu berada dalam situasi defenseless. Bagi mereka yang sama sekali tidak tahu bahasa Jawa, Inggris dan Belanda mungkin gaya UK bisa menjengkelkan: apa maksudnya dengan kata-kata yang aneh itu. Tetapi di sinilah kekuatan UK. Ia tak ingin menjadikan bahasa sebagai belenggu untuk menyatakan pikiran