Tanpamu apa jadinya aku

Bocah laki-laki itu malu-malu memasuki ruang kelas. Sekolah Taman Kanak-kanak Siwi Peni, namanya. Bangunannya sederhana, dari gedek – anyaman bambu. O, bukan bangunan sekolahan yang berdiri sendiri namun salah satu ruang di rumah Eyang Sinder yang dijadikan ruang kelas. Bu Kadaryati – anak perempuan Eyang Sinder, yang menjadi guru TK Siwi Peni tersebut.

Jarak rumah bocah laki-laki itu ke TK Siwi Peni hanya sepelemparan sendal belaka. Sebetulnya keberadaan TK Siwi Peni tak asing baginya, sebab saban hari ia bermain di sana meskipun belum menjadi murid TK tersebut. Namun, hari itu sebagai hari pertamanya masuk sekolah. Makanya malu-malu.

Bu Kadaryati – ia disapa dengan sebutan Bu Yati saja, memanggil bocah laki-laki itu segera memasuki kelas dan duduk di kursinya. Ada sekitar lima belas atawa paling banyak dua puluh anak menjadi murid TK Siwi Peni. Semuanya berasal dari kampung yang sama. Mereka tak berseragam dan hanya satu-dua anak yang bersepatu, sedang lainnya bertelanjang kaki termasuk bocah laki-laki itu.

Suasana kelas ceria betul, tak ada anak yang murung. Bocah laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya, ia tertarik pada sebuah gambar-cerita yang dipajang di dinding kelas. Ada seekor semut yang terjatuh di dalam kolam, ia tak bisa berenang. Di atasnya bertengger burung merpati yang hendak menolong semut. Merpati itu menjatuhkan selembar daun ke dalam kolam di dekat semut yang kepayahan yang akan tenggelam. Semut itu segera meraih daun yang dilempar oleh merpati dan hup…. ia sudah berada di tengah daun.

Bocah laki-laki itu terkesan sekali dengan gambar-cerita itu.

Ia makin senang bersekolah di TK Siwi Peni karena Bu Yati pandai sekali mendongeng. Bu Yati selalu menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada murid-muridnya. Guru bukanlah dewa atawa tukang sulap yang dengan mantranya dapat mengubah karakter para muridnya menjadi manusia yang sempurna akal budinya, namun bagi bocah laki-laki itu Bu Yati telah berperan besar meletakkan nilai-nilai budi pekerti melalui dongeng-dongengnya.

Peristiwa di atas terjadi pada tahun 1973 yang lalu. Selamat Hari Guru, 25 November 2013.

pagiku cerahku / matahari bersinar / kugendong tas merahku / di pundak / selamat pagi semua / kunantikan dirimu / di depan kelasmu / menantikan kami / guruku tersayang / guru tercinta / tanpamu apa jadinya aku / tak bisa baca tulis / mengerti banyak hal / guruku terima kasihku / nyatanya diriku / kadang membuatmu marah / namun segala maaf / kau berikan