Tubuh Sultan Hadiwijaya a.k.a Mas Karebet a.k.a Jaka Tingkir terguncang-guncang di atas punggung gajah yang menjadi tunggangannya. Dari Pajang ia nglurug ke Alas Mentaok, tempat Sutawijaya membangun perdikan yang menjadi cikal-bakal berdirinya Kerajaan Mataram. Sutawijaya berani menantang Pajang, Mentaok melakukan disintegrasi terhadap kedaulatan Pajang.
“Anak tak tahu diuntung, sudah diberi tanah merdeka eh…malah mau mbrontak. Dasar anak Pemanahan keparat!” Hadiwijaya mengumpat sepanjang perjalanan. Prajurit yang mendengar umpatan rajanya itu bergidik, betul-betul merasakan kemarahan junjungan mereka.
Ketika rombongan Pajang sampai di tepi Kali Opak tak jauh dari Kompleks Candi Prambanan, Hadiwijaya mengistirahatkan pasukannya. Namun, ia dikejutkan oleh penampakan di seberang Kali Opak. Di sana sudah berdiri tenda-tenda pasukan Sutawijaya. Hmm, rupanya Sutawijaya mencegat Hadiwijaya di Prambanan, tapal batas antara Mentaok dan Pajang.
Belum juga ia turun dari gajahnya, dari kejauhan ia melihat seseorang naik kuda mendekatinya. O, rupanya Sutawijaya yang datang.
Tanpa mau turun dari kudanya, Sutawijaya menyapa Hadiwijaya. “Ngapain Romo jauh-jauh dari Pajang hanya untuk menggempurku? Akan sia-sia, Romo. Soalnya prajurit Pajang nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan prajurit Mataram!”
Alis Hadiwijaya mencuat. “Mataram? Nama apa itu?”
Sutawijaya membusungkan dadanya. Lelaki setengah baya yang kini menjadi Sultan Pajang itu dapat melihat betapa jumawa Sutawijaya di hadapannya. Bagaimana pun ia akan berusaha menaklukkan Sutawijaya tidak dengan kekerasan sebab ia masih ingat betapa berjasanya Sutawijaya yang telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dulu bertempur dengan Haryo Penangsang. Dengan tombak Kyai Plered, Sutawijaya menewaskan Adipati Jipang yang sekian lama menjadi musuh bebuyutan Jaka Tingkir.
“Mataram adalah nama yang aku sematkan kepada tanah perdikan Mentaok, Romo. Ia akan menjadi kerajaan besar di Tanah Jawa ini!” pekik Sutawijaya.
Beberapa jenak bibir Hadiwijaya gemetaran. Bayangan Kerajaan Pajang yang akan runtuh tiba-tiba menghantui fikirannya.
“Sudah karmaku, barangkali,” gumam Hadiwijaya. Namun terdengar jelas oleh Sutawijaya.
“Romo bilang apa? Karma? Apa karena Romo dulu merebut tahta Demak dengan licik lalu memindahkan ke Pajang? Inikah karma yang Romo sebut barusan?” celetuk Sutawijaya.
“Pamanahan tak boleh menang!” ujar Hadiwijaya sambil menarik kekang gajahnya. Hewan raksasa itu kaget dan mengangkat kaki depannya.
Hadiwijaya terkejut. Ia lepaskan tali kekang yang tadi tergenggam di tangannya. Akibatnya fatal. Ia terjatuh dari punggung gajah.
Sutawijaya segera meloncat turun dari kuda, untuk menolong ayah angkatnya itu. Bersamaan dengan langkah Sutawijaya mendekati Hadiwijaya yang terjatuh datang Pemanahan, ayah Sutawijaya.
Mereka berdua menggotong tubuh lemah Hadiwijaya menuju tenda yang didirikan oleh prajurit Pajang. Para prajurit hanya menjadi penonton saja sebab mereka merasa tak pantas mencampuri urusan keluarga rajanya.
Setelah Hadiwijaya berbaring di dalam tenda, ia membuka matanya dan berkata kepada Pemanahan.
“Kakang, aku titip anakku. Memang sudah saatnya ia menjadi raja besar di Tanah Jawa ini,” kata Hadiwijaya pelan.
Mendengar tuturan Hadiwijaya tersebut, Sutawijaya seolah mendapatkan jawaban rasa penasarannya selama ini.
“Sebetulnya, aku ini hanya sekedar anak angkat atawa anak kandungmu, Romo?” ujar Sutawijaya.
Pemanahan membayangkan insiden puluhan tahun lalu ketika istrinya terisak di pangkuannya. Nyonya Pemanahan mengaku anak dalam kandungannya adalah benih dari Jaka Tingkir.