Sunting Lima Tingkat

Wahai waktu, cepatlah bergulir. Kenapa setiap detik kini terasa merangkak lambat. Sementara Pak Hamdarih yang berkopiah miring ini tampaknya menikmati peran sentralnya dan tidak merasa terburu-buru menuntaskan acara. Suaranya bergaung keras dengan logat Betawi yang bercara diri. “Sebelum kita mulai acara akad nikah ini, mari kita istigfar bareng-bareng…” Sejenak kemudian yang terdengar hanya dengungan istigfar bersama-sama, di sela wangi bunga melati yang ditata di meja dan sudut-sudut ruangan.

Sejurus kemudian, bapak penghulu ini dengan enteng menarik ujung tanganku yang sudah sedingin batu es, “Coba dah sekarang jabat tangan calon mertua, jangan malu-malu,” katanya mencoba memecah ketegangan yang mungkin jelas menggayuti mukaku. Beberapa hadirin terpancing senyum dan ketawa kecil. Aku ikut-ikutan tersenyum tegang.

Dengan berdebar-debar kuulurkan tangan ke arah Pak Sutan. Tapak tangannya yang besar, gemuk, dan panas bagai menelan tangan kurusku bulat-bulat. Mata kami bertatapan sekilas, lalu diam-diam ujung mataku mencari-cari Dinara yang sedang duduk tertunduk sambil menggigit bibir, mungkin ikut gugup.

Ujung mataku juga lari ke kursi yang agak jauh dari meja akad nikah, mencari Amak yang tampak duduk berdampingan dengan Mama. Bagai sudah janjian, mereka berdua kompak sama-sama memegang saputangan, sama-sama mengangkat kacamata untuk mengelap kelopak mata mereka yang basah.

Pandangan mataku akhirnya aku jatuhkan pasrah ke tangan kami yang berjabat. Setelah mendeham dan meluruskan letak kopiahnya, bagai konduktor orchestra, penghulu merentangkan tangan mempersilakan Pak Sutan mengucapkan ijab, kata-kata mahapenting itu. Suara Pak Sutan mengalir mantap, “… saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya yang bernama Dinara Larasati binti Irwansyah Sutan Rangkayo Basa kepada engkau, Alif Fikri bin Syafnir dengan mas kawin berupa seperangkat alat salat tunai.”

Bagai tergigit lidah, aku sesaat tidak tahu harus berkata apa. Dua helaan napas berlalu hening. Pak Penghulu menatapku dan cepat-cepat menyenggol pinggangku agar aku segera bereaksi menyambut ijab ini. Dengan suara bergetar aku lafazkan kabul yang telah aku hafal sejak dua hari lalu:

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Dinara binti Irwansyah Sutan Rangkayo Basa dengan mas kawin yang tersebut, tunai.”

Bulu romaku terasa tegak sendiri mendengar suaraku. Pak Sutan mengeratkan genggamannya tiba-tiba, tanganku bagai tercekik. Mungkin ini penanda betapa dia menyerahkan anak gadisnya agar aku bela sepenuh jiwa. Pak Hamdarih manggut-manggut sebentar, lalu tersenyum lebar, sambil berkata lantang, “Alhamdulillah. Alfatihah…”

Tulisan di atas adalah penggalan dari Bab 31 novel Rantau 1 Muara, buku ketiga dari trilogi Negeri 5 Menara karya A. Fuadi yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (Mei, 2013) setebal 407 halaman.