Sunat

Selokan di jalan utama Kampung Sukamiskin rusak parah. Kalau hujan deras, air meluap yang menyebabkan jalanan tergenang air setinggi lutut orang dewasa. Warga sepakat untuk memperbaiki selokan tersebut, maka diadakan rapat di rumah Pak RW. Keputusan rapat, warga menunjuk Pak RW sebagai Pimpinan Proyeknya.

Tanpa melalui proses tender yang berbelit, Pak RW menunjuk Pak Mandor, karibnya di arena pemancingan untuk menjadi kontraktor pelaksananya. Pak Mandor pun segera melakukan pengukuran dan melakukan perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB)-nya. Tiga hari kemudian, Pak Mandor menghadap Pak RW.

“Berapa semuanya?” tanya Pak RW.

“54 juta pak!” jawab Pak Mandor, “tapi itu belum termasuk jasa 10%. Jadi total 59,4 juta.”

“Naikkan 20%, buat kas RW!” perintah Pak RW. Apa benar untuk kas RW?

Pak RW pun mengumpulkan para ketua RT yang berjumlah 4 itu, untuk membicarakan tindak lanjut rencana perbaikan selokan.

“Jadi begini bapak-bapak. Setelah dihitung oleh kontraktor, nilai proyek perbaikan saluran sebesar 72 juta. Untuk adilnya, dibagi rata saja masing-masing RT menyetor 18 juta. Bagaimana?” kata Pak RW sebagai pimpinan rapat.

Karena presentasi Pak RW begitu meyakinkan semua ketua RT menyetujui RAB yang diajukan. Pak RW tidak henti-hentinya tersenyum.

Di rumah Ketua RT 15 diadakan rapat.

“Proyek perbaikan selokan sebesar 80 juta, masing-masing RT mendapatkan jatah setor 20 juta. Jadi, karena jumlah KK kita ada 50, masing-masing dikenakan iuran 400 ribu. Pas!” kata Ketua RT.

“Upah pungutnya nggak dihitung pak?” tanya Sekretaris RT.

“Begini saja, iuran kita naikkan menjadi 500 ribu. Kita akan mendapatkan 25 juta. Masing-masing kita mendapatkan 500 ribu. Upah pungut 500 ribu!” usul Bendahara RT.

“Terus yang 500 ribu?” tanya Ketua RT.

“Untuk kas RT!” jawab Sekretaris RT mantap.

Terjadi kesepakatan. Apa yang terjadi di RT 12, 13 dan 14? Sekali tiga uang.

Dalam waktu sebulan, para RT menyetorkan uang kepada Pak RW, sesuai RAB Pak RW yaitu 72 juta. Pak RW pun memanggil Pak Mandor.

“Pak Mandor mulai besok bisa langsung bekerja. Ini Surat Perintah Kerja (SPK), senilai 59,4 juta. Uang muka 30% akan saya bayarkan saat ini juga, tapi ada syaratnya!” kata Pak RW.

“Syaratnya apa Pak?” tanya Pak Mandor.

“Pak Mandor harus memberi komisi ke saya. Sudah jamaknya begitu, bukan?” jawab Pak RW.

“Tenang Pak RW, 10% hitungan jasa kemarin itu sebenarnya untuk Pak RW kok!” tukas Pak Mandor.

Terjadi kesepakatan. Berarti, dengan RAB 54 juta Pak Mandor sudah mendapatkan keuntungan. Pak Mandor berdendang riang ketika keluar dari rumah Pak RW. Ia pun menuju warung kopi langganannya untuk bertemu dengan kolega, rekanan dalam bebagai proyek yang ditangani Pak Mandor.

“Dul, aku ada proyek perbaikan selokan kampung ini. Nilai proyeknya 50 juta. Kamu berani nawar berapa?” tanya Pak Mandor kepada temannya.

“Seperti yang sudah-sudah saja Pak Mandor, ambil 20% buat Pak Mandor!” kata Dul, teman Pak Mandor.

Terjadi kesepakatan. Kini, Dul akan memperbaiki selokan dengan RAB 40 juta. Dul bersiul membayangkan keuntungan yang akan diambilnya.

Sebulan kemudian, perbaikan selokan selesailah sudah. Dul lapor ke Pak Mandor, kemudian Pak Mandor lapor ke Pak RW.

Sepulang Pak Mandor dari rumah Pak RW, mendung tebal menggelayut di langit. Awan hitam tidak mampu menahan uap air yang mulai jenuh. Tidak lama setelah terdengar petir menggelegar, turunlah hujan yang sangat lebat. Air seperti tumpah dari langit, meluap mencari tempat yang rendah. Selokan yang baru saja diperbaiki Dul mulai bekerja menampung air yang melimpas dari jalananan. Semakin besar dan semakin deras. Pelan tapi pasti, pasangan batu kali selokan terkikis, terlepas dari ikatannya. Begitu seterusnya hingga hujan terhenti. Selokan  di jalan utama Kampung Sukamiskin rusaknya lebih parah dari keadaan sebelumnya.

Seminggu setelah peristiwa hujan lebat itu, berkerumun para pemuda Kampung Sukamiskin di depan rumah Pak RW. Mereka membentangkan spanduk, berteriak dengan lantang menggunakan toak milik musholla : ADILI PAK RW! PAK RW KORUPTOR! GANTUNG KORUPTOR! BERSIHKAN DESA SUKAMISKIN DARI SARANG KORUPTOR!

Di dalam rumah, Pak RW menggigil ketakutan menyaksikan keberingasan para pemuda. Ia bersembunyi di balik lemarinya. Istri Pak RW menghampirinya.

“Benar yang mereka tuduhkan ke bapak?” tanya istrinya. Pak RW mengangguk pelan dengan mata terpejam. Ia malu bersitatap mata dengan istrinya.

“Gelang yang ibu pakai itulah salah satu hasilnya!” sela Pak RW. “Juga sepeda anak kita!”

Mestinya juga makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh keluarga Pak RW, ada hasil korupsi. Darahnya, juga darah anak dan istrinya telah tercemar virus korupsi. Dan jika darah di otak sudah bersemayam virus korupsi, maka akan berpotensi lahirnya generasi baru seorang koruptor.

Putuskan rantai penyebaran virus korupsi : jangan berikan harta hasil korupsi untuk menghidupi anak dan istri!

Note :
Artikel ini menjadi juara dalam Anti Korupsi – Blogpost Competition yang diselenggarakan oleh ceritainspirasi.net.