Sedah-Panuluh dan Kakawin Mahabharata

Namaku Panuluh, sebuah nama pemberian kakekku yang berarti berbakat, cerdas, dan sangat kreatif. Aku adalah adik seperguruan Mpu Sedah waktu kami melakukan studi di salah satu universitas di Negeri Hindustan sana.

Hari ini aku berduka setelah mendengar kabar kalau Mpu Sedah menjadi tahanan Prabu Jayabaya di penjara bawah tanah. Sangat keji tuduhan yang ditimpakan kepadanya. Ah, Prabarini. Perempuan yang sedang matang-matangnya itu memang cinta sejati Mpu Sedah. Bahkan ia rela tidak beristri, sejak Prabarini dinikahkan dengan Jayabaya.

Aku bergegas menuju istana, aku sedang ditunggu oleh penguasa Kerajaan Kediri. Aku tidak tahu agenda pemanggilanku ke istana.

“Karena besok Mpu Sedah akan aku gantung, aku titahkan kepadamu untuk melanjutkan proyek menerjemahkan wiracarita Mahabharata yang kemarin dikerjakan oleh Mpu Sedah!” ujar Jayabaya mengejutkanku.

“Sendika Gusti Prabu,” aku menghaturkan sembah, dan hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutku.

Setelah undur dari hadapan raja, aku segera menuju penjara bawah tanah untuk menemui Mpu Sedah yang menjadi senior sekaligus mentor terbaikku.

Sesampai di hadapannya, aku menyampaikan rasa duka yang mendalam atas apa yang menimpanya kini, sekaligus menceritakan hasil pertemuan dengan Prabu Jayabaya.

“Sebetulnya aku ragu bisa melanjutkan proyek Kakawin Mahabharata itu, Kakang. Apalagi tanpamu,” kataku tertunduk di hadapan Mpu Sedah.

“Dulu, engkau ingin menumbuhkan sayap dan terbang ke angkasa. Sekarang, engkau sudah terbang mendekati matahari, tetapi engkau malah takut terbakar?” ujar Mpu Sedah.

Aku terbatuk lirih.

“Nama kita akan dicatat oleh sejarah, Panuluh. Yakinlah, engkau mampu menyelesaikan Kakawin Mahabharata,” tambahnya.

“Kakawin Mahabharata yang sedang kakang tulis sudah sampai di mana?” tanyaku sejurus kemudian.

Pujawati, sebuah nama yang disematkan oleh ayahnya sebagai tanda pujaan hati sang ayah. Sebuah nama yang indah. Seindah parasnya. Ia berhidung bangir, bermuka tenang serta santun dalam bersikap. Ia selalu bersanggul, meskipun sebagian rambutnya dibiarkan terurai. Ia anak pendeta raksasa yang bernama Begawan Bagaspati. Mungkin karena bapaknya raksasa itulah tidak ada seorang cowok pun yang berani mendekatinya apalagi mempersunting menjadi istrinya.

Entahlah, kenapa ia bertambah gakau jika sedang mendengarkan lagu tentang kerinduan hati yang tengah kasmaran. Beberapa hari yang lalu ia bermimpi bertemu dengan lelaki tampan yang ia sendiri tidak paham siapa lelaki itu. Tetapi wajahnya selalu teringat hingga sekarang. Ia merindukan lelaki yang pernah hadir dalam mimpinya.

Begawan Bagaspati keluar dari ruang semedinya. Ia mendapati Pujawati sedang berdiri memandang langit malam yang dihiasi bintang gemintang. Ia menghampiri putri kesayangannya itu dan bertanya.

“Anakku, apa yang sedang engkau pikirkan. Ayah lihat beberapa hari ini engkau selalu larut dalam lamunanmu.”

“Ayah, aku sedang gelisah merindukan seseorang. Ia beberapa hari yang lalu hadir dalam mimpiku.”

“Siapa dia, anakku?”

“Tidak tahu, ayah. Mungkin ayah bisa membantuku untuk mengetahui siapa lelaki tampan yang hadir di dalam mimpiku. Apakah ia jodoh untukku, ayah?”

“Baiklah. Ayah akan bersemedi untuk mengungkap sisik melik ini. Sudahlah, sekarang tidurlah!”

Maka berdasarkan wisik yang diterima oleh Begawan Bagaspati, lelaki tampan yang hadir dalam mimpi Pujawati adalah Narasoma. Ia utarakan hal itu kepada Pujawati. Oh, betapa senangnya Pujawati mendapatkan informasi penting itu, dan ia meminta kepada ayahnya supaya mencari keberadaan Narasoma dan meminta supaya mau mempersunting dirinya menjadi istri Narasoma.

Karena rasa sayangnya kepada Pujawati, Begawan Bagaspati menyanggupi keinginan anaknya dan segera berangkat menuju tempat tinggal Narasoma.

Tidak ada kesulitan berarti bagi Begawan Bagaspati menemui Narasoma. Tanpa basa-basi, ia minta Narasoma supaya ikut dengannya dan untuk dikawinkan dengan Pujawati. Tetapi di luar dugaan sang Begawan, Narasoma menolak dan menantangnya berkelahi. Begawan Bagaspati meladeni tantangan Narasoma, dan terjadilah pertempuran yang tidak seimbang. Narasoma kalah telak dan langsung dibawa pulang untuk dikawinkan dengan Pujawati.

Pujawati senang bukan alang kepalang, ayahnya pulang membawa ksatria tampan. Ketika mata Narasoma bersitatap dengan mata Pujawati ia pun jatuh cinta, tetapi di dalam hatinya ia merasa malu mempunyai calon mertua raksasa. Lalu, Narasoma berkata kepada Pujawati.

“Aku mau kawin denganmu, asal ayahmu bersedia aku bunuh. Aku malu mempunyai mertua raksasa, meskipun ia seorang Begawan.”

Pujawati sangat sedih mendengar permintaan ganjil dari mulut Narasoma. Ia menatap ayahnya. Dari sorot mata anaknya, sang Begawan paham benar isi hati anaknya.

“Baiklah Narasoma. Aku bersedia mati asalkan perkawinanmu dengan putriku Pujawati tetap berlangsung. Tetapi sebelum engkau membunuhku, aku akan memberimu ilmu kesaktian Candrabirawa yaitu berupa raksasa-raksasa kecil yang akan membantumu di dalam perang kelak!”

Narasoma terkejut. Begawan Bagaspati bersedia dibunuh tetapi malah meninggalkan sebuah ilmu kesaktian untuknya. Tetapi belum habis rasa terkejutnya, sang Begawan kembali berwasiat.

“Nanti, di perang Bharatayuda engkau akan menerima balasan perbuatanmu atas kematianku. Engkau akan tewas di tangan raja yang bertabiat kasih sayang terhadap sesama. Sekarang, bunuhlah aku!”

Mendengar wasiat bernada kutukan itu Narasoma makin terkejut dan gelap mata. Tanpa pikir panjang lagi, ia keluarkan pistol dan ditembakkan ke arah kening sang Begawan. Maka, tewaslah Begawan Bagaspati di pangkuan Pujawati.

“Mengapa Pujawati, Kakang? Bukan Setyawati?” tanyaku keheranan.

Mpu Sedah tersenyum dan menjawab, “Setyawati adalah nama lain Pujawati. Karena kesetiaannya kepada Narasoma alias Salya, sampai ajal menjemputnya, ia dikenal juga dengan nama Setyawati.”

Seorang penjaga penjara memberiku kode, bahwa kunjunganku telah melewati batas waktu yang telah kami sepakati.

Entah, apakah besok aku sempat bertemu dengan Kakang Sedah, sebelum ia dieksekusi mati oleh Prabu Jayabaya.