Sarapan pagi bersama Kartini

Saya terkesan membaca buku Pram tentang Kartini yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Ah, rasanya saya ingin pergi ke Rembang untuk bertemu dengannya. Tapi bagaimana caranya?

~oOo~

Utusan Bupati Rembang datang menemui saya dan mengabarkan bahwa tanggal 21 April saya diundang untuk sarapan pagi bersama dia dan istrinya, RA Kartini. Betapa bahagianya hati saya, dan tanpa pikir panjang saya bilang menerima undangan itu kepada utusan Bupati Rembang yang masih berdiri di hadapan saya.

Halaman Kadipaten terlihat sangat asri di pagi itu. Saya sudah menunggu di ruang tamu, sejak setengah jam sebelumnya. Kemudian datang seseorang berpakaian beskap lengkap mempersilakan saya masuk ke ruang makan Bupati Rembang. Ruangan itu cukup luas. Meja makan yang berbentuk bulat sepertinya terletak tepat di tengah ruangan. Tak lama kemudian keluarlah Bupati Rembang RMAA Singgih Djojo Adiningrat yang didampingi istrinya, Raden Adjeng Kartini. Wajah RA Kartini sangat saya kenal karena sejak sekolah dasar dulu fotonya banyak bertebaran di buku sejarah kebangsaan.

Saya kikuk. Saya harus menyembah atawa langsung menyalami mereka? Saya agak terkejut ketika Bupati Rembang itu menghampiri saya dan memeluk saya akrab sambil bertanya apa kabar saya. Lalu, saya ulurkan tangan menjabat erat kepadanya, kemudian ke tangan RA Kartini. 

“Selamat ulang tahun, bu!” kata saya seramah mungkin. Meskipun usia Kartini jauh lebih muda dari pada saya, ia sangat berwibawa.

“Oh, hari ini ulang tahun saya ya? Terima kasih. Mari silakan duduk dan nikmati teh hangat yang sudah disajikan,” kata Kartini, lembut.

“Ibu, di zaman saya, ibu adalah tokoh yang sangat terkenal. Kami menyebut Ibu tokoh emansipasi. Dan setiap tanggal 21 April kami peringati sebagai Hari Kartini,” saya memberikan penjelasan.

“Oh iya? Tapi memang benar kok, istri saya ini memang perempuan yang berwawasan sangat luas,” tukas Bupati Rembang, kemudian menyeruput teh manis yang disajikan oleh Kartini.

“Benar. Nanti akan ada tulisan yang terbaca seperti ini: Kartini tidak punya massa, apalagi uang. Uang tidak akrab dengan perempuan hamba seperti Kartini. Yang dipunyai Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala-gala perasaannya yang tertekan itu. Dan hasilnya luar biasa, selain melambungkan nama Kartini, suaranya bisa terdengar sampai jauh, bahkan sampai ke negeri asal dan akar kehancuran manusia Pribumi. “Barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” Ada di buku ini, Ibu,” papar saya sambil menunjukkan buku karya Pram.

RA Kartini tersenyum, lalu menceritakan betapa suaminya mengerti keinginan Kartini dengan mengizinkan ia mendirikan sekolah di sebelah timur pintu gerbang kadipaten. Mata Kartini berbinar ketika bercerita bagaimana ia berkorespondensi dengan teman-teman Belandanya. Dalam surat-suratnya banyak gagasan brilian yang ia sampaikan kepada teman-temannya itu.

Kami pun menikmati menu sarapan pagi yang konon disiapkan sendiri oleh Kartini. Makanan yang disajikan berjenis vegetarian.

“Rupanya benar yang saya baca, Ibu seorang vegetarian,” celetuk saya.

“Dari mana panjenengan tahu?” tanya Bupati Rembang, sambil melirik istrinya.

“Saya membaca salah satu surat Ibu yang dikirimkan kepada Ny. Abendanon tanggal 27 Oktober 1902,” saya kemudian membuka buku dan membacakannya, “Kami sekarang pantang makan daging. Sudah lama kami merencanakan itu, dan bahkan beberapa tahun saya hanya makan tanaman saja, tetapi tidak punya cukup keberanian susila untuk bertahan. Saya masih muda sekali, masih berusia 14, 15 tahun.”

Saya lihat RA Kartini tersenyum, dan berkata, “Kami yang dimaksud dalam surat itu adalah saya dan adik-adik. Vegetarisme itu doa tanpa kata kepada Yang Maha Tinggi.” 

Sarapan selesai. Saya diajak oleh Bupati Rembang berjalan-jalan di sekitar halaman kantornya. Ia menunjuk sebuah bangunan di sebelah timur pintu gerbang yang tak lain adalah bangunan sekolah tempat Kartini mengajar murid-muridnya. Saya penasaran untuk segera menuju ke sekolah itu. Tanpa melihat kiri-kanan, saya menyeberang jalan tetapi dari arah kiri saya melaju kereta kuda dengan kecepatan agak tinggi. Saya tertabrak, terpental dan terjatuh di parit yang tiada berair. Pingsan.

~oOo~

“Mas, bangun! Bangun! Bus sudah masuk terminal Rembang, nih!” Kenek bus membangunkan saya.