Sambel bakso

Malam menjelang larut. Sambil pulang ke rumah, Paiman mendorong gerobak bakso miliknya belok ke Sekar Kinanti Residence (SKR), sebuah kompleks perumahan baru. Siapa tahu, baksonya habis di sana sehingga pulang ke rumah dengan hati berbunga.

Ia menyapa petugas Satpam kompleks agar diizinkan masuk ke dalamnya. Untuk menarik perhatian penghuni kompleks ia bunyikan mangkuk dengan memukulnya dengan sendok.

Ting… ting… ting…

Dan benar saja. Ia dipanggil penghuni Blok G1 dan memesan 6 mangkok bakso.

“Sambelnya mana, mas?”

Paiman segera menyajikan sambel yang ia masukkan dalam toples ukuran 240 ml. Sambel yang awalnya masih separo toples langsung ludes, dilahap oleh para penghuni G1. Apalagi, mereka menambah 2 mangkok bakso lagi. Dua mangkok yang terakhir dagangan Paiman.

Paiman senang-senang saja, ia pulang nanti tidak membawa sisa dagangan.

Hari berikutnya, Paiman mencoba peruntungan lagi di kompleks SKR. Dan seperti dugaannya, penghuni G1 kembali memesan bakso. Kali ini cuma 4 mangkok.

“Sambelnya mana, mas?”

Paiman segera menyajikan sambel yang ia masukkan dalam toples ukuran 240 ml yang masih penuh. Namun, betapa terkejutnya Paiman saat mengambil mangkok kotor ia dapati toples sambel telah kosong.

“Keluarga ini doyan amat ya makan sambel. Tapi… jangan-jangan sambelnya tidak dimakan, tetapi diembat dan disimpan di kulkas mereka?” Paiman berkata dalam hati.

Minggu berikutnya, Paiman kembali ke kompleks SKR. Lagi-lagi ia terkejut, sambelnya ludes lagi dan kali ini ia saksikan sendiri kalau penghuni G1 memang doyan sambel.

Akibatnya sungguh fatal. Paiman dikomplain oleh pelanggan lain yang membeli setelah penghuni G1, mereka tidak kebagian sambel. Jika dihitung secara ekonomi, apalagi saat harga cabe naik drastis, untuk membuat sambel satu toples memerlukan biaya yang cukup signifikan.

***

Sudah dua minggu lebih, penghuni G1 menunggu Paiman lewat depan rumah mereka. Nyonya G1 bertanya kepada Nyonya G2.

“Bu, apa mas Paiman nggak pernah mampir SKR lagi? Kami kangen makan bakso racikan mas Paiman.”

“Sebetulnya masih sering lewat kok bu. Hanya saja saat lewat jalan depan rumah kita, mas Paiman tidak membunyikan mangkoknya!”

“Loh, kenapa? Takut membikin berisik?”

“Anu… e…. bagaimana ya ngomongnya? Maaf, begini bu…”

Rupanya Paiman menghindari penghungi G1 membeli baksonya. Ia sangat kuatir, sambelnya dihabiskan oleh penghuni G1.

“O, kalau begitu nanti saya bayar sambelnya bu!”