Namanya Solichin Kalla. Di keluarga Kalla, Mas Ihin adalah generasi ketiga. Generasi pertama adalah Pak Hadji Kalla. Generasi kedua adalah Pak Jusuf Kalla.
Meskipun menjadi putera mahkota, tidak ada yang sangat berbeda antara Mas Ihin dengan kami semua. Penampilannya biasa saja. Cukup bersahaja jika perlu membuat penilaian atas penampilannya. Karena penampilan yang biasa-biasa saja itu, Mas Ihin kerap dihalang-halangi menemui ayahnya.
Ini terjadi karena banyak anggota Paspampres yang menjaga Pak Kalla ke mana pun berada tidak mengenalinya. Beberapa anggota Paspampres pada awalnya bahkan mengira Mas Ihin wartawan karena kamera yang kerap ada di tangannya.
Macam-macam kamera dibawanya tergantung tempat kegiatan yang didatanginya. Mas Ihin memang berhobi memotret. berbagai obyek digemarinya. Salah satunya adalah ayahnya. Banyak momen dan terutama angle yang tidak mungkin didapat fotografer mana pun juga. Karena itu, hasil jepretannya pastilah istimewa.
Sebagai putra mahkota, Mas Ihin tidak pernah menjaga jarak atau membiarkan diri diberi jarak oleh siapapun untuk bergaul dengan kami semua. Saat mendampingi ayahnya mengikuti Kongres Partai Sedunia di India, Mas Ihin tidak betah terkungkung sendiri di tempatnya menginap yang pasti istimewa.
Mengetahui kami akan keliling kota Mumbai dengan taksi butut yang bertebaran di sana malam harinya, Mas Ihin bergabung juga. Kamera tidak pernah lupa dibawanya. Kami menyewa taksi tua buatan tahun 1970-an dengan argo engkol. Seru juga karena kendaraan serupa dipakai juga oleh pejabat negara di India sana.
Saya kemudian membayangkan mobil-mobil di istana dan gedung parlemen di Indonesia.
Kami turun ke kaki lima. Buku-buku, kaos, kain, dan aneka rupa cindera mata menjadi incaran kami semua. Mas Ihin ikut juga. Setelah selesai, tas kresek sudah di tangan berisi hasil buruan berbagai cindera mata. Kami semua termasuk Mas Ihin kemudian mencegat taksi-taksi tua yang lewat untuk kembali ke tempat kami menginap.
Tanpa kami sadari, anggota Paspampres ternyata kebingungan mencari tahu keberadaan putra mahkota Pak Kalla. Kami semua lantas tertawa.
Cerita lain kami alami di Makassar. Saat itu, Jakarta sedang genting karena tersiar kabar secara luas tidak adanya Mas Agus Harimurti Yudhoyono di antara teman-temannya yang bertugas sebagai anggota pasukan Garuda. Tersiar kabar, Mas Agus yang sudah dijemput Mbak Annisa, isterinya, sedang berada di suatu kota di Eropa. Paris katanya.
Mas Agus didapati tidak ada saat tim Garuda bertemu Pak Kalla di Mekkah. Karena ingin mengetahui duduk perkaranya, kami yang tengah berada di Makassar ingin mendapat penjelasan langsung dari Pak Kalla. Tidak mudah memang, tetapi tetap kami coba.
Kami datangi hotel tempat Pak Kalla menginap. Sudah malam sekitar pukul 22.00. Di lobi hotel, anggota Paspampres memberi tanda tidak lagi bisa. Pak Kalla sudah beristirahat, kata mereka. Kami duduk-duduk sambil menunggu keajaiban. Tak lama kemudian, Mas Ihin muncul dan bertanya ada apa.
Kami utarakan niat kami. Mas Ihin kemudian mengeluarkan telepon gengamnya. Tak lama kemudian, Mas Ihin memberi tahu, Pak Kalla yang sudah bersiap-siap beristirahat sudah menunggu di ruang tamu kamar hotelnya.
Kami semua berdiri dan melangkah pergi menemui Pak Kalla. Anggota Paspampres geleng-geleng kepala karenanya.
Di kamar tempat Pak Kalla menginap, duduk perkara kami dapat termasuk beberapa porsi pisang goreng Bone serut keju kesukaan Pak Kalla di atas meja.
Hmmm. Nikmat juga rasanya. Anda perlu mencoba. Bukan menjadi putra mahkota tentunya.
Salam pisang.
30 April 2009
~oOo~
Artikel di atas saya kutip dari buku yang berjudul Pak Kalla dan Presidennya di halaman 146 – 149. Buku ini seakan melengkapi buku tetralogi Pak Beye: Pak Beye dan Istananya, Pak Beye dan Politiknya, Pak Beye dan Kerabatnya, serta Pak Beye dan Keluarganya sebelumnya karya Wisnu Nugroho – Wartawan Kompas. Dari buku ini kita bisa belajar kesederhanaan dan kelugasan Pak Jusuf Kalla dalam bersikap dan bertindak, baik menyikapi urusan negara yang serba rumit maupun menyikapi urusan konflik komunal yang tak kalah rumit. Pak Jusuf Kalla sering dipandang sebagai orang yang suka main terabas dan tidak terlalu memegang teguh aturan. Tentu dilihat dari kacamata positif. Baginya, aturan tidak perlu diterapkan terlalu kaku dalam situasi yang mengharuskan siapa pun bertindak cepat, misalnya dalam hal terjadinya bencana atawa penanganan konflik. Untuk urusan konflik, Pak Jusuf Kalla lebih percaya kepada pendekatan kesejahteraan dan kemanusiaan ketimbang pendekatan represif ala serdadu. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (Pebruari, 2011) setebal 204 halaman.