Jadi juragan rumah petak

Ada banyak orang di sekitaran saya yang bisa menjadi teladan bagi orang-orang yang mudah putus asa, sedang terpuruk atawa kurang gigih dalam berusaha. Saya akan ceritakan satu (dulu) di antara mereka.

Orang-orang memanggilnya Ucok, meskipun ia asli dari bukit Tidar Jawa Tengah. Barangkali karena bentuk rahangnya mirip saudara kita yang bersuku Batak, ia dipanggil Ucok. Saya mengenalnya di awal tahun 1994. Saat itu saya indekos di pinggir Citarum, ia setiap pagi menaiki sepedanya membawa tumpukan koran dan majalah, mengantarkannya dari rumah ke rumah, dan saya salah satu pelanggan koran dan majalahnya. Sabtu, saat saya libur ada sedikit waktu untuk mengobrol dengannya.  Saya menjadi tahu nama asli dan asalnya.

Wilayah jelajah Ucok lumayan luas. Saya sering bertemu Ucok ketika ia mampir ke kantor saya menawarkan koran dan majalahnya ke teman-teman kantor. Jarak rumah saya ke kantor berkisar 12 km.

Tahun 2001, ia datang ke rumah saya membawa seorang temannya. Ia memberitahukan kalau yang akan mengantar koran dan majalah ke rumah saya bukan dia lagi, tetapi temannya yang dibawa itu. Belakangan saya tahu, kalau yang dibilang temannya itu sebenarnya anak buahnya.

Suatu siang, Ucok mendatangi saya yang sedang leyeh-leyeh di kantin kantor. Ia membawa segepok uang dalam amplop, karena mendengar ada teman kantor yang bermaksud menjual mobil. Uang puluhan juta itu hasil tabungannya! Sayangnya, mobil yang ditaksirnya sudah terjual. Ia pulang dengan perasaan kecewa.

***

Saya menghadiri undangan Ucok yang menyunatkan anaknya. Bertahun-tahun saya mengenal Ucok baru kali itu datang ke rumahnya. Lagi duduk-duduk menikmati hidangan, saya mendengar orang di sebelah saya bercerita kalau deretan rumah petak bercat kuning di sekitar rumah Ucok itu semua milik Ucok. Iseng-iseng saya hitung pintunya, ada delapan biji!

***

Di parkiran kantor, suatu siang. Dari kejauhan saya lihat motor Ucok sedang diparkir. Ke mana si Ucok? Sedang menagih pembayaran bulanan koran dan majalah kah?

“Lekum Kyaine… apa kabar! Bagaimana pelayanan si Saldi dalam mengantar koran ke rumah?” [sampai sekarang Saldi masih mengantar koran/majalah ke rumah saya]

“Alhamdulillah lancar. Anak buahmu itu rajin kok. Kalau majalah anak-anak telat suka ngasih tahu dulu. Eh, rumah petaknya sudah nambah jadi berapa pintu nih?”

“Lho… Kyaine kok tahu saya punya rumah petak?”

Haiyo… ngerti to. Sapa sih sing nggak kenal sama juragan rumah petak kampung Sukamukti?”

“Hayah… Kyaine bisa aja. Ceritanya, uang yang dulu mau dipakai beli mobil saya gunakan bikin kos-kosan. Lumayan lah, dari yang cuma tiga pintu lama-lama tujuh belas.”

“Salut saya mas. Sampeyan ya masih mau nganter koran seperti ini!”

“Loh, inilah bentuk syukur saya ke Gusti Allah, Kyaine. Dari jual koran kelilinglah saya bisa punya rumah kontrakan banyak. Kalau cuma thenguk-thenguk di rumah malah stress nanti, meskipun ada pemasukan sewa bulanan. Muter-muter saya sekarang nggak jauh seperti dulu.  Paling saya hanya memastikan pelanggan lama tetap terlayani dengan baik oleh para anak buah.”

***

Kemarin siang, di depan sebuah bank syariah saya bertemu Ucok siap-siap masuk sebuah mobil warna silver, masih gres.

“Eh… mas Ucok. Biyuh…. biyuh… montore anyar ya…”

Pengestune Kyaine. Alhamdulillah, sudah bisa beli jenis mobil yang dulu sempat saya taksir. Anu, Kyaine… mohon doanya nggih…”

Ana apa iki?”

“Barusan saya setor ONH, Kyaine.”

Hati saya bergetar. Labbaik Allahumma labbaik!