Ada rasa sedih yang mendalam ketika masuk angkot untuk melaksanakan Tawaf Wada’ (perpisahan). Tawaf ini wajib dilakukan jika jamaah haji akan meninggalkan Mekkah (menuju tanah air masing-masing). Tidak ada keringanan untuk meninggalkan Tawaf Wada’ ini kecuali bagi wanita yang dalam keadaan haid dan nifas.
Suasana Masjidil Haram tidak begitu padat, karena waktu itu antara subuh dan dhuha. Saya bisa tenang melakukan tawaf, bahkan bisa menyentuh Ka’bah dan Maqam Ibrahim. Setelah shalat sunat dua rakaat saya duduk bersimpuh di depan Ka’bah. Belum bisa berkata apa-apa, mata saya hanya memandangnya saja.
Tak terasa air mata meleleh karena akan berpisah dengannya.
Semilir angin pagi menambah khikmat tafakur saya. Di akhir doa saya berharap bisa datang lagi mengunjungi Tanah Haram bersama-sama dengan keluarga, sanak kadang, dan teman yang menitipkan doa kepada saya “untuk dipanggil-panggil ke Baitullah”. Malamnya, jadual kloter saya menuju Al Madinah Al Munawwaraah.
Sangat berat kaki ini melangkah keluar dari Masjidil Haram. Di halaman saya tertegun sejenak menatap menara-menara masjid yang menjulang tinggi. Saya tersentak kaget ketika penjaja makanan burung menawarkan dagangannya. Saya membeli satu bungkus, kemudian saya tebarkan ke halaman Masjidil Haram dan ratusan burung merpati menghampirinya.
Indah sekali pemandangan pagi itu.
“Sampai bertemu kembali di lain waktu, ya Masjidil Haram”, bisik saya dalam hati. Amiin.