Melaksanakan Tawaf Wada’

Ada rasa sedih yang mendalam ketika masuk angkot untuk melaksanakan Tawaf Wada’ (perpisahan). Tawaf ini wajib dilakukan jika jamaah haji akan meninggalkan Mekkah (menuju tanah air masing-masing). Tidak ada keringanan untuk meninggalkan Tawaf Wada’ ini kecuali bagi wanita yang dalam keadaan haid dan nifas.

Suasana Masjidil Haram tidak begitu padat, karena waktu itu antara subuh dan dhuha. Saya bisa tenang melakukan tawaf, bahkan bisa menyentuh Ka’bah dan Maqam Ibrahim. Setelah shalat sunat dua rakaat saya duduk bersimpuh di depan Ka’bah. Belum bisa berkata apa-apa, mata saya hanya memandangnya saja.

Tak terasa air mata meleleh karena akan berpisah dengannya.

Semilir angin pagi menambah khikmat tafakur saya. Di akhir doa saya berharap bisa datang lagi mengunjungi Tanah Haram bersama-sama dengan keluarga, sanak kadang, dan teman yang menitipkan doa kepada saya “untuk dipanggil-panggil ke Baitullah”. Malamnya, jadual kloter saya menuju Al Madinah Al Munawwaraah.

Sangat berat kaki ini melangkah keluar dari Masjidil Haram. Di halaman saya tertegun sejenak menatap menara-menara masjid yang menjulang tinggi. Saya tersentak kaget ketika penjaja makanan burung menawarkan dagangannya. Saya membeli satu bungkus, kemudian saya tebarkan ke halaman Masjidil Haram dan ratusan burung merpati menghampirinya.

Indah sekali pemandangan pagi itu.

“Sampai bertemu kembali di lain waktu, ya Masjidil Haram”, bisik saya dalam hati. Amiin.

Ahmad, Sahabat Saya yang Ramah

Sebut saja namanya Ahmad, begitu saya memanggilnya. Dia ini yang mempunyai toko kelontong di sekitar maktab yang menjual berbagai macam kebutuhan jamaah. Saya mengenalnya pertama kali saat melakukan orientasi lapangan, selanjutnya terjadi interaksi dengannya di luar transaksi jual beli.

Dia mengenal presiden RI hanya Abdulrahman Wahid, bahkan sampai pemerintahan sekarang. Saya kasih tahu kalau sekarang presidennya sudah SBY (beberapa kali dia kesulitan mengeja nama lengkap SBY), tetap saja Gusdur deh.

Karena akrab tadi, seringkali dia memberikan harga murah. Banyak referensi saya berikan agar dia jualan ini-itu yang pasti akan dibeli oleh jamaah Indonesia. Benar saja, dia mulai kulakan barang-barang produk Indonesia seperti kopi kapal api, pop mie, atau indomie (mie instant Indonesia produksi arab sebelumnya sudah ada), tetapi harganya sampai 5 s/d 7kali lipat. Kalau sayur-sayuran harganya wajar saja, ada kacang panjang, kangkung, buncis, gambas dan terong.

“Special for you,” demikian katanya setiap kali memberikan harga murah atau tambahan satu butir telur/apel/buah pier setiap kali saya membeli 1 atau 2 kg.

Ahmad, seperti kebanyakan toko di Mekkah atau Madinah, akan menutup tokonya sementara ketika azan terdengar. Dia akan ke masjid dulu. Ketika melihat saya gundul, saya dipeluk sambil ngomong bahasa inggris campur bahasa arab, maklum kami berpisah selama 5 hari karena kepergian saya ke Arafah. Dia juga bertanya kepada saya, kapan jamaah pergi ke Madinah, ini untuk memperhitungkan jumlah stock barang-barang di tokonya yang “berbau” Indonesia. Hari terakhir kami di Mekkah, toko si Ahmad ini sudah “bersih”, dia mengadakan diskon besar-besaran.

Apakah saya mendapatkan “special for you” dari Ahmad? Betul, saya mendapatkan barang-barang yang berharga 1 riyal di mana sebelumnya berharga 5 riyal.

Kepala-kepala Gundul

Cerita ini masih di Mina. Setelah menyelesaikan pelemparan jumrah Aqabah, dilanjutkan dengan tahallul agar bisa melepas pakaian ihram dan berganti dengan pakaian biasa. Pemandangan yang saya lihat di tenda-tenda selama tiga hari di Mina orang-orang pada menggunduli kepalanya.

Di tempat yang fasilitasnya terbatas seperti itu, cara pemotongan rambut bermacam-macam. Teman memotong rambut teman yang lain, tetapi ada juga jasa pemotongan rambut meskipun dengan peralatan manual.

  1. Ada yang membawa alat pencukur jenggot, rambut dibasahi dengan sabun kemudian dengan alat tersebut centi demi centi rambut berguguran dari kepala.
  2. Ini yang lebih aman, menggunakan alat cukur menggunakan tenaga battery. Tapi kalau battery-nya habis dan membawa stock terpaksa dilanjutkan dengan cara di atas.
  3. Kalau ini cara nekat, hanya menggunakan silet yang dipegang tangan. Caranya rambut dibasahi dengan sabun, semili demi semili rambut dikerok. Posisi silet sedikit bergeser, kulit kepala yang jadi korban. Saya ngeri melihatnya.
  4. Jasa pemotongan rambut biasanya mangkal di dekat toilet-toilet umum yang dilakukan oleh warga keturunan India. Cara pemotongan seperti no. 1 – 3 di atas. Tetapi yang menggunakan silet mereka lebih lihai dan cepat, seperti tukang ayam sedang mencabuti bulu-bulu ayam he..he… Lalu, berapa tarifnya? Bervariasi dari 5 s/d 25 riyal.

Saya cukup sabar untuk tidak menggunduli kepala saya di Mina. Nanti setelah sampai di Mekkah, sebelum tawaf ifadhah saya pun menggunduli kepala saya. Meskipun potong rambut model gundul sering saya lakukan, tetapi model gundul kali ini terasa berbeda.